Narendra dan Dimas bagian 8

Aku menatap langit-langit kamarku dengan perasaan tidak menentu. Sudah jam 4 subuh dan aku belum bisa memejamkan mataku. Ingatanku kembali ke beberapa jam yang lalu di ruang tamu, di mana waktuku seperti berhenti di saat Dimas menyebut nama itu dengan wajah yang kaku dan suara yang tercekat. Ya, Nanda. Aku ingat dia. Mantan pacar Dimas.

“Nanda, kamu ngapain ke sini?” tanya Dimas dengan nada marah.
“Udah hampir jam 12, di kosan cowok pula. Ayo, aku antar kamu pulang”, sambung Dimas sambil menarik tangan Nanda.
Nanda menarik kembali tangannya,
“Aku mau ngomong sama kamu, Dim. Dari tadi aku coba menghubungi kamu ke hp, tapi nggak keangkat juga.”
Aku memandang ke arah mereka berdua, tentu saja Dimas tidak akan mengangkat hpnya karena sedang bersamaku. Dimas yang akhirnya sadar kalau aku ada di ruang yang sama, memintaku untuk meninggalkan mereka,
“Ren, bisa tinggalin kita berdua?”
Aku hanya mengangguk dan berjalan ke kamarku. Aku tidak tahu lagi apa yang terjadi di antara mereka, dan aku merasakan ada sesuatu yang menusuk-nusuk di dadaku. Sampai di kamar, aku langsung menyembunyikan tubuhku di balik selimut. Sampai sekarang.

Aku mencoba memejamkan mataku lagi, tapi yang ada malah berbagai pikiran aneh melintas di kepalaku. Aku tidak pernah kenal dengan pacar Dimas, karena mereka tidak sekampus dengan kami. Aku hanya mendengar dari cerita Dimas, terutama kalau Dimas curhat habis putus dengan pacarnya. Nanda adalah yang terakhir putus dari Dimas. Setelah itu, tentu saja Dimas selalu bersamaku, meskipun aku belum mengatakan mau menjadi pacarnya.

Kuhadapkan badan ke dinding di sebelah kananku. Aku meraba dindingnya, dinding yang berbatasan langsung dengan kamar Dimas. Apakah dia sudah pulang? Sedang apakah dia di kamarnya? Tidurkah? Atau seperti aku, yang tidak bisa tidur karena tenggelam dalam pikiranku sendiri. Atau malah dia masih bersama Nanda? Syit. Nanda. Nanda. Nanda. Kenapa nama itu malah terus terngiang di kepalaku? Apa yang dia mau dari Dimas? Apakah dia mau mengajak Dimas kembali kepadanya? Aku mengepalkan tanganku.

Tidak. Jangan. Aku mohon, jangan kembali padanya. Jangan ambil Dimas dariku. Tunggu. Memang aku siapa? Aku bukan pacar Dimas. Aku tidak bisa melarangnya jika ingin kembali kepada Nanda. Kepalaku berkata aku tidak boleh melarangnya, tapi ternyata hatiku berkata lain. Aku tidak ingin merasakan hal sedih yang sama lagi, ditinggalkan demi seorang perempuan. Aku tidak ingin kehilangan Dimas. Aku merasakan sesuatu yang basah dan hangat mengalir di pipiku. Aku menangis? Kapan terakhir kali aku menangis? Rasanya sudah lama sekali, sejak Reza meninggalkan aku. Aku menutup mataku.

Samar-samar aku mendengar ketukan lembut di dalam tidurku. Aku membuka mata, dan mencoba menajamkan pendengaranku. Ternyata memang ada suara ketukan lembut di pintu kamarku. Aku melihat jam di dinding, jam setengah 7. Siapa yang datang di Minggu pagi begini? Dengan berat kuseret tubuhku untuk membuka pintu. Aku memutar kunci dan membuka pintu kamarku sedikit. Dimas? Aku langsung membuka pintu kamarku, menyandarkan tubuhku di kusen pintu karena aku masih sangat mengantuk dan tubuhku terasa lemas. Dimas menatapku. Dia sudah berpakaian rapi, tapi wajahnya terlihat lelah.
“Ren, boleh gue masuk? Ada yang mau gue omongin.”

Ini dia, ada yang mau gue omongin. Perutku langsung terasa mulas, bukan mulas karena mau pup, tapi mulas karena sesuatu yang ingin dia bicarakan. Aku membiarkannya masuk ke kamar dan menutup pintu kamarku.
“Gue ke kamar mandi sebentar ya. Mau cuci muka sama sikat gigi”, kataku.
“Okay.”
Di kamar mandi aku menatap wajahku di cermin wastafel, dan aku baru menyadari kalau mataku bengkak. Syit. Semoga Dimas tidak melihatnya. Segera aku menyikat gigi dan menyiram wajahku dengan air. Lumayan. Bengkaknya agak hilang. Keluar dari kamar mandi, aku melihat Dimas sedang duduk di karpet, bersandar di sisi tempat tidurku.

Aku menyusul duduk di sampingnya dan mencoba mencairkan suasana dengan berkata,
“Jadi, apa yang mau elo omongin? Cuma mau ngomong sama gue, elo udah rapi begini?”
Dimas menoleh dan menatapku dengan wajah seriusnya. Tangannya terulur menyentuh pipiku, ibu jarinya mengusap lembut kelopak mataku, dan aku membiarkannya.
“Gue liat mata elo bengkak, Ren. Elo abis nangis?”
Siyal, dia melihat mataku yang bengkak. Aku menurunkan tangannya,
“Gue nggak boleh nangis gitu?”
Dimas menarik tangannya, tersenyum lembut dan mengacak-acak rambutku,
“Boleh aja. Cuma gue jadi penasaran, kenapa elo nangis. Apa karena cowok yang ketemu di parkiran Queer semalem, atau karena hal lain?”
Syit. Aku nangis bukan karena dia, tapi karena kamu. Tunggu. Kenapa tiba-tiba Dimas menyinggung tentang Reza?
“Gue nangis bukan karena dia. Kenapa elo nanya begitu?”
“Nggak apa-apa, gue pikir elo nangis karena dia. Gue punya perasaan, dia pacar pertama elo kan? Yah, ini perasaan gue aja sih, gue nggak tahu yang sebenernya.”

Aku kaget mendengar kata-katanya. Hebat. Perasaannya tajam sekali.
“Hebat. Elo bisa tau dia pacar pertama gue. Beneran perasaan elo, atau ada yang udah ngasih tau?”
Dimas tersenyum,
“Sorry, kemarin malem gue sempet ngobrol sama Haru, sebelum ketemu elo di parkiran. Gue yang tanya-tanya ke Haru.”
Pasti wajahku penuh dengan tanda tanya karena dia melanjutkan lagi,
“Haru cuma kasih tau kalo dia pernah pacaran sama elo. Tentang pacar pertama elo, itu beneran perasaan dan tebakan gue. Haru nggak kasih tau apa-apa tentang dia. Jadi, jangan marah ke Haru. Marahnya ke gue aja. Gue yang mau tau tentang elo. Oke?”
Mana bisa aku marah sama kamu, this annoying but I love him-brat. Aku menarik napas panjang,
“Yap. Namanya Reza, pacar pertama gue. Eh, kenapa jadi ngomongin dia. Dia udah nggak ada hubungan apa-apa sama gue. Elo mau ngomong apaan?”, aku baru ingat kalau dia mau bicara tentang sesuatu.

Dimas hanya tersenyum, menepuk-nepuk kepalaku lagi, lalu menunduk,
“Cewek yang semalem dateng, Nanda…”
Aku menyelesaikan kalimatnya,
“Mantan cewek elo kan?”
Dimas memandangku. Aku melanjutkan,
“Elo pernah cerita ke gue kan? Cewek elo yang terakhir namanya Nanda. Gue masih inget.”
Dia menggelengkan kepalanya lalu tertawa,
“Jadi, semalem..kita sama-sama ketemu dengan mantan pacar? Huuuft.”
Aku pun ikut tertawa. Lalu aku memberanikan diri untuk bertanya,
“Ada hal penting apa, sampai Nanda datang ke sini. Nungguin elo sampai malem pula?”
Dimas memeluk lututnya, kepalanya tertunduk lagi, dan dia berkata dengan pelan,
“Dia…minta balik ke gue. Dia bilang, dia nggak bisa ngelupain gue.”

Syit. Aku nggak ingin mendengar jawabannya, tapi aku penasaran sekaligus pasrah. Apapun jawabannya aku harus bisa menerimanya, meskipun dadaku sesak karena aku mencintainya.
“Terus, apa jawaban elo?”
“Gue belum jawab. Gue minta waktu. Abis nganter Nanda pulang gue nggak bisa tidur, semaleman gue berpikir di kamar.”
Jadi, dia di kamar semalaman. Sama sepertiku, tidak bisa tidur karena terus berpikir. Dimas berkata lagi,
“Gue mau kasih jawabannya hari ini. Gue…nggak bisa balik sama Nanda.” Tiba-tiba, aku merasakan ada kelegaan yang luar biasa di dadaku. Kepalaku seperti disiram air es, dan beban di bahuku seperti diangkat oleh perkataannya.
“Ren, please. Sekali lagi gue minta sama elo, jadi pacar gue ya”, Dimas berkata sambil terus menatapku. Aku rasa aku memang harus segera memberikan jawaban atas permintaan Dimas, tapi tidak hari ini. Aku masih harus menata hatiku.

Kuraih tangannya,
“Dim, boleh gue minta waktu lagi? Gue tau gue egois karena meminta hal ini, tapi gue masih harus meyakinkan diri gue sendiri. Gue nggak mau mengulangi kesalahan yang sama.”
Dimas menarik tanganku dan mencium telapaknya,
“Berapa lama lagi gue harus menunggu, Ren? Sehari? Seminggu? Sebulan?”
Aku merasa tanganku seperti disengat listrik ketika Dimas melakukan hal itu. Syit. Aku rindu sentuhannya.
“Secepatnya. Gue akan memberi jawaban secepatnya. Please, Dim?”
Dimas tersenyum lembut,
“Gue tunggu. Oh ya, gue mau ngasih elo sesuatu.”
Aku memandangnya dengan bingung,
“Mau ngasih gue apa?”

Dimas mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya. Sebuah iPod shuffle berwarna putih. Katanya,
“Dari pertama gue bilang gue serius sama elo, gue mikir…apa yang tepat untuk ngegambarin perasaan gue ke elo ya. Setelah nyari-nyari, gue nemuin lagu ini.”
Dia menaruh iPod tersebut di tanganku,
“Dengerin setelah gue pergi nanti ya. Sekarang gue pamit dulu.”
Aku mengangguk. Dimas lalu berdiri, dan melangkah ke pintu kamar. Aku mengikutinya. Sampai di pintu dia berhenti, membalikkan badannya, dan menarik pinggangku ke dalam pelukannya. Wajahnya mendekat ke wajahku, dan bibirnya…aku berpikir dia akan menciumku, tapi ternyata tidak. Dia memindahkan bibirnya ke telingaku, dan berbisik,
“Jangan membuat aku menunggu terlalu lama, Narendra…”.
Lagi-lagi telingaku menjadi panas dan badanku gemetar karena bisikannya. Aku menutup telingaku dengan tangan. Dimas tersenyum lalu mencium pipiku,
“Bye, Naren.”
“Bye.”
Aku menutup dan mengunci pintu. Badanku merosot ke lantai karena lemas.

Tanganku masih menggenggam iPod yang diberikan Dimas. Aku bangun, menuju ke meja belajarku, dan duduk di kursi. Kupasang earphone di telingaku, dan aku tekan tombol play. Terdengar suara gemerisik, dan lalu terdengar suara rendah Dimas.
“Hello there, Narendra. Gue nggak pinter ngerangkai kata-kata yang puitis buat orang yang gue sayang. Yang gue inget ada satu lagu lama, yang kata-katanya pas banget sama perasaan gue buat elo. Mungkin elo nggak akrab dengan lagu ini, secara elo dengerinnya lagu berbahasa Jepang terus. Lagu ini judulnya Endlessly, yang nyanyi Muse. Please, googling liriknya ya. Bye.”
Aku tersenyum mendengar pesan yang sama sekali tidak romantis ini. Aku meraih hpku dan segera mencari lirik lagu yang Dimas katakan tadi. Suara musik mulai mengalun di telingaku. Ketika om google sudah menemukannya, aku mulai membaca satu per satu barisan liriknya.

There’s a part of me you’ll never know
The only thing I’ll never show

Hopelessly I’ll love you endlessly
Hopelessly I’ll give you everything
But I won’t give you up
I won’t let you down
And I won’t leave you falling
If the moment ever comes

It’s plain to see it’s trying to speak
Cherished dreams forever asleep
Hopelessly I’ll love you endlessly
Hopelessly I’ll give you everything
But I won’t give you up
I won’t let you down
And I won’t leave you falling
If the moment ever comes

Hopelessly I’ll love you endlessly
Hopelessly I’ll give you everything
But I won’t give you up
I won’t let you down
And I won’t leave you falling
But the moment never comes

Aku menutup wajahku dengan kedua tangan. Kalau ada pintu ajaib Doraemon, aku ingin segera menariknya kembali ke kamarku. Sekarang juga. Syit.

-bersambung-

Have a nice day,

Natsu

18 pemikiran pada “Narendra dan Dimas bagian 8

  1. nareeeeeennnn pengen kakak uyel-uyel kamuuhhh…. gemes banget sama dua lelaki iniiihhh…

    natsuuuu… kakak lemeeess pas scene dipintu… dimas narik pinggang naren trus berbisik di telinganya kyaaaaaa kakak pingsaaaan hahahaha

    natsu kereeeeenn….. 😍😍😍

    Suka

    • Jangan diuyel-uyel kak. Langsung karungin aja, kunciin di kamar. Introspeksi maksudnya…:):):)

      Duh, kakak…Natsu blushing lagi mbayanginnya. Scene kayak begini emang bikin deg-deg seeerrrrr….

      /peluk Lita-chan

      Makasih ya Lita-chaaaaan…😘😘😘

      Suka

  2. Natsuuuuuuuuuuuuu ❤️Uuuuuu….sweet banget……hikzzzzhikzzzz….Narennnnn…cepetan kejar DIMAS dong hihihihi hihih …..❤️MUSE jg hihi…awas NATSU Jgn bikin aku nangis ya di ch selanjutnya huhuhuhuhaaahahaha…..Dan Jgn bikin aku bête XDDDDDD…( marukkkkk)

    Suka

  3. GV syndrom
    ini nih resiko suka sama cow straight! Tapi posisinya dimas kan dah bener bener jelaaas nembak naren, narennya aja yg ga move on dari reza. tidak semua laki laki..(dangdutan disek)
    kebayang bgt kan syedihnya! (scene ngelus tembok..NGENNES T-T(gw tau rasane).
    scene yg di pintu masuk pas bangun tidur itu, aku suka banget … sweeeet bgt sampe diabetes
    aku wes ngira bakalan cium bibir,! tapi ! beneran kejutan yang maniss, bisik bisik mesra! jangan naren, aku juga ikutan lemes mendadak! TAPI AWAS YA KA DEEN KALO SAMPE SAD ENDING! AKU DEMO DI DEPAN RUMAH MU!

    Suka

    • Hahaha…

      Boleh kok demo, tapi demo bikin sushi ya Leee… Natsu mau kok didemo bikin sushi, dengan senang hati malah.

      Sad ending? Nggak kayaknya. Natsu penggemar happy ending 😝😝😝

      Makasih ya Lee…
      /jabat tangan

      Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar