Narendra dan Dimas bagian 7

Jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 9 malam ketika aku sampai di parkiran Queer. Semoga Naren belum sampai, karena aku tidak ingin membuatnya menunggu. Aku segera masuk ke dalam, dan karena ini Sabtu malam, suasana di dalam cukup ramai dibandingkan kemarin. Di meja bar ada sepasang cowok yang sedang mengobrol, sementara di sudut sana aku melihat Haru sedang duduk sendirian. Aku mendekatinya,
“Hey Haru…”
“Oh, hey. Kamu rupanya, Dimas. Mana Naren?”
“Masih kerja. Aku janjian sama dia di sini. Dia mau ke sini begitu selesai kerja.”
Haru mengernyit,
“Janjian? Tumben banget dia begitu. Dia jarang lho, bikin janji sama orang. Suka-suka dia aja.”
Aku nyengir,
“Sebenarnya nggak janjian sih, dia bilang mau mampir sini sepulang kerja. Terserah aku, mau nyusul ke sini atau nggak. Kalau aku mau pulang bareng dia, aku harus datang ke sini.”
Haru tertawa,
“Naren banget kalau begitu sih.”
Dalam hatiku aku menggumam, seberapa jauh Haru mengenal Naren? Apakah mereka dulu pernah berhubungan? Karena meskipun aku sudah kenal Naren 2 tahun ini, aku belum banyak mengetahui tentang Naren, terutama masa lalunya.

Eric mendekati kami berdua dan menyapaku,
“Halo Dimas, mau minum apa?”
“Boleh aku minta bir aja, ‘Ric?”
“Boleh. Tunggu sebentar ya.”
Aku memainkan kunci motorku. Kalau nggak ada Naren, aku nggak tahu harus ngobrol apa dengan Haru. Hanya aku merasa, aku harus menanyakan sesuatu kepada Haru.
“Uhm…Haru, sudah berapa lama kenal dengan Naren?”
Haru memandangku,
“Hmm, kenapa kamu tanya begitu? Kamu penasaran? Kenapa nggak tanya ke Naren aja?”
Aku menunduk, tanganku menikmati dinginnya gelas bir yang baru saja diletakkan Eric di depanku,
“Kalau aku tanya ke Naren, dia pasti nggak akan mau menjawabku.”
Haru menyesap gelas birnya,
“Uhm, iya juga sih. Well, aku kenal Naren sejak dia kerja sambilan di sini. Awal-awal kuliah kayaknya.”

Aku menatapnya,
“Dia pernah kerja sambilan di sini?”
Haru mengangguk. Aku melanjutkan pertanyaanku,
“Kalian berdua, sebenarnya apa hubungan kalian? Maaf, aku penasaran.”
Haru hanya tertawa mendengarku,
“Yakin mau dengar?”
Aku mengangguk. Haru meneruskan ceritanya,
“Dulu kami sempat berpacaran, tapi nggak lama. Sekarang, aku hanya mantan pacarnya, yang kadang…bersenang-senang dengannya. Hubungan kami sebatas hubungan fisik.”
Benar dugaanku, Haru pernah mempunyai hubungan yang spesial dengan Naren. Haru melanjutkan perkataannya,
“Jangan khawatir, aku sudah lama tidak melakukannya dengan Naren. Aku bisa melihatnya menyukaimu, Dimas. Hanya mungkin, kenyataan bahwa kamu adalah cowok straight, membuat dia belum berani melangkah lebih jauh bersamamu.”
Aku hanya memandangi gelasku,
“Dia bilang dia hanya mau kencan dengan cowok gay. Aku ingin tahu alasannya, tapi dia sama sekali tidak mau memberikan alasannya kepadaku. Apa kau tahu, Haru?”
Haru tersenyum,
“Semua orang mempunyai tipe masing-masing, kan? Hubunganku dengan cowok straight dan biseksual juga tidak terlalu bagus.”

Haru meminta tambahan minuman kepada Eric, lalu melanjutkan berbicara,
“Aku hanya menceritakan ini kepadamu. Narendra, dulu pernah berhubungan serius dengan seorang cowok yang lebih tua. Lalu orang itu meninggalkannya demi seorang perempuan. Sepertinya hal itu membuat Naren trauma dan tidak mau berhubungan lagi dengan cowok straight.”
Aku memandang Haru, yang menatap gelasnya dengan tekun. Lalu Haru berbicara lagi,
“Bisa dibilang orang itu adalah cinta pertama Naren. Buat Naren, orang itu adalah segalanya. Dia benar-benar jatuh cinta kepada orang itu. Setelah mereka putus, Naren hanya mau berhubungan dengan cowok gay. Yah, kamu mungkin tidak akan mengerti mengenai sakitnya ditinggalkan cinta pertama.”
Aku terdiam. Dadaku terasa sesak. Perkataan Haru ada benarnya. Selama ini aku berhubungan dengan beberapa cewek, tidak pernah sekalipun aku yang meminta mereka jadi pacarku. Selalu mereka yang memintaku duluan. Dengan kata lain, aku belum pernah merasakan benar-benar jatuh cinta kepada seseorang. Baru kali ini aku merasakan sesak karena cinta. Aku berdiri,
“Aku mau cari angin dulu.”

Sampai di luar, aku tertegun memandang dua orang yang sedang berbicara di parkiran mobil. Ah, itu Naren. Dia benar-benar datang ke sini. Tunggu, siapa yang bersamanya? Kenapa dia mengelus-elus kepala Naren? Lalu cowok itu melambaikan tangannya kepada Naren, sepertinya berpamitan. Aku terkejut memandang wajah Naren, karena wajahnya yang memandang cowok tadi terlihat sedih, seakan tidak mau ditinggalkan. Cowok itu berjalan ke arahku, arah pintu masuk Queer, lalu dia masuk ke dalam. Aku berjalan mendekati Naren dan menyapanya,
“Naren?”
Dia terkejut lalu memandangku,
“Dimas? Elo ngagetin gue.””
“Siapa orang tadi, ‘Ren?”
Dia tersenyum,
“Oh, dia. Dia yang punya Queer. Elo ngapain di sini?”
“Nungguin elo. Sesuai kata elo kan, terserah gue mau nunggu elo di sini atau nggak.”
Dia tertawa terbahak-bahak. How I love his laughter. Lalu dia berkata,
“Baguslah. Gue laper banget, mau cari makan. Mau ikut gue?”
Aku ditanya seperti itu, pasti kujawab,
“Gue ikut. Terserah gue kan?”
Lagi-lagi dia tertawa. Membuatku bertanya-tanya, dia yang tadi terlihat sedih dengan dia yang sekarang tertawa karena jawabanku, manakah Narendra yang sebenarnya?

Aku masih berkutat dengan pikiranku, ketika Naren berkata,
“Nggak ada makanan yang enak dan bikin kenyang di Queer. Kita cari makan di tempat lain aja.”
Aku berbalik hendak masuk lagi ke Queer,
“Tunggu sebentar, gue belum bayar minuman gue di dalem.”
Tiba-tiba tangannya menarik lengan bajuku,
“Lain kali aja elo bayarnya, nanti gue bilangin ke Eric.”
Aku terkejut dan hanya bisa memandang wajahnya yang tiba-tiba kelihatan sedih lagi. Dia berkata lagi,
“Elo parkir di mana?”
Aku menunjuk ke arah motorku diparkir, dan dia pun berjalan ke sana. Aku menyusul di belakangnya. Tiba-tiba aku mempunyai perasaan kalau orang tadi adalah cinta dan pacar pertama Narendra.

***

Narendra

Sekali lagi, aku membonceng di motor Dimas. Kalau dipikir kembali, sejak aku membiarkannya melakukan apa saja, sudah berapa kali aku mengikuti kemauan Dimas. Aku sendiri tidak tahu, kenapa aku membiarkannya melakukan apa yang dia mau. Aku yang nggak ingin terlibat lebih jauh dengan Dimas, kenapa sekarang sepertinya makin dekat? Semakin aku berusaha menjauh dari Dimas, semakin dia mendekatiku. Ini bener-bener nggak bagus.

Aku masih tenggelam di dalam pikiranku, ketika tiba-tiba motor Dimas berbelok ke Sierra dan akhirnya berhenti di parkiran. Aku turun dari motor dan melepaskan helmku,
“Kita makan di sini?”
Dimas menjawab sambil melepaskan helm dan mengunci motornya,
“Yap. Gue kangen masakan pastanya.”
Kami berdua memasuki Sierra dan disambut oleh greeter. Untung masih ada meja yang kosong, karena biasanya Sierra penuh kalau Sabtu malam begini. Begitu pelayan selesai mencatat pesanan makanan kami, dia langsung berkata,
“Ren…orang tadi, elo bilang dia yang punya Queer, apa dia gay juga?”
Aku memainkan nomor meja Sierra, dengan suara pelan kujawab pertanyaannya,
“Nggak. Dia bi. Dia udah nikah. Oh, selain Queer dia juga punya beberapa bar lain, yang normal.”
Dimas memandangku,
“Keren juga, udah punya beberapa bar. Kayaknya dia keliatan masih muda banget.”
“Nggak juga, dia jauh lebih tua daripada kita berdua.”
Dimas hanya tersenyum,
“Heeeh…gitu ya?”
Aku terkejut sendiri mendengar reaksi Dimas. Tunggu. Kenapa aku jadi ngoceh banyak tentang Reza kepada Dimas? Syit. Goblok kok dipelihara sih, Ren. Aku mengutuk diriku sendiri.

“Ren…Naren? Elo nggak pa-pa?”, suara Dimas memanggilku dengan lembut. Pelayan sudah menaruh makanan yang kami pesan. Aku gelagapan menjawabnya,
“I…iya, gue nggak apa-apa.”
Aku mulai makan sambil terus larut dalam pikiranku. Sebenarnya aku sama sekali tidak ingin Dimas bertemu dengan orang-orang dari masa laluku, seperti Haru atau Reza, tapi entah kenapa kami seperti selalu dipertemukan. Tuhan seperti ingin menunjukkan kepada Dimas, sisi seorang Narendra yang tidak diketahuinya. Aku menghela napas panjang. Arggh, aku ingin cepat pulang. Aku benar-benar ingin sendirian saat ini.
“Ren, jangan bengong. Cepetan abisin makanannya, abis ini kita pulang”, Dimas tiba-tiba berkata begitu sambil menyentuh tanganku. Aku tersenyum, apa Dimas bisa membaca pikiranku ya? Dimas, Dimas yang sangat aku sayangi, sampai kapan kamu akan bertahan menghadapi aku yang egois ini? Aku ingin sekali bersamamu, tapi…kenyataan kalau kamu sama dengan Reza, membuatku takut. Takut kalau suatu hari nanti kamu akan meninggalkanku, dan membuatku tenggelam lagi dalam kesedihan yang sama.
“Narendra…”, suara Dimas terdengar lagi, kali ini ada nada khawatir di dalamnya.
“Oh…eh…gue ngabisin ini dulu. Sebentar”, aku segera menghabiskan sisa makananku di piring dan meminum jus jeruk pesananku. Selesai aku makan, aku berdiri dan hendak menuju ke kasir, tapi Dimas mencegahku,
“Gue yang bayar.”
Aku hanya mengangguk.

Di area parkir motor Sierra yang terang benderang masih banyak tamu yang ngobrol, kebanyakan juga anak kuliahan seperti kami berdua, yang tidak pernah puas ngobrol di dalam. Tiba-tiba saja, keisenganku muncul kembali,
“Dim…di tempat rame begini, elo bisa nyium gue?”
Wajahnya terkejut, tapi dengan cepat berubah kalem lagi,
“Gue bisa.”
Aku tertawa,
“Cepet banget jawaban elo.”
“Elo nggak percaya sama gue?”
“Nggak kok, nggak. Bukan gitu. Kalau gue…gue nggak bisa ngelakuin hal itu. Ciuman di tempat yang rame kayak begini.”
Dimas memandangku dengan tajam,
“Menurut gue sih, ciuman nggak ada hubungannya sama tempat.”
Aku terkejut mendengarnya,
“Eh? Maksud elo?”
Dimas lalu berbisik di telingaku,
“Well, jujur…gue pengin nyium elo lagi, gue pengin bisa menggenggam tangan elo, gue pengin bisa nyentuh elo sampai puas. Gue rasa gue udah gila karena harus nahan ini semua. Sekali elo bilang iya, gue pasti akan melakukan itu semua.”

Suara berbisik Dimas membuat telingaku terasa panas. Panas karena mendengar suara rendahnya, juga panas karena aku ingin juga menciumnya, menyentuhnya, menggenggam tangannya. Seperti di kamarku waktu itu. Hanya lagi-lagi, tembok keegoisanku menghalangiku.
“Nggak bisa. Emang kita nggak mikirin orang di sekitar kita?”
Dimas mendengus, wajahnya berubah serius,
“Palingan mereka lihat kita, terus mereka pikir kita lagi mabok. Abis itu paling kita diseret ke kantor polisi karena membuat keributan di depan umum. Udah yuk, kita pulang.”
Aku tidak bisa menahan tawaku melihat wajah seriusnya, yang disambut dengan semprotannya,
“Kenapa elo malah ketawa, Ren?”
Aku tersenyum,
“Gue paling suka wajah serius elo, Dim.”
Wajah Dimas memerah dan dia hanya bisa bereaksi,
“Eh? Apa, Ren?”
Syit. Aku tidak menduga kalau dia akan bereaksi seperti itu, dengan wajah yang memerah pula. Beneran. Ini nggak bagus buat kesehatan jantung.
“Nggak. Nggak apa-apa. Ayuk, pulang”, kataku sambil meraih helmku. Dimas menyalakan mesin motornya, aku pun segera naik ke motor.

Dalam perjalanan aku terus berpikir, seharusnya aku tidak perlu mengisengi Dimas seperti tadi. Ini seperti bumerang, efek yang ditimbulkan berbalik kepadaku. Melihatnya seperti itu, reaksi yang beneran sangat cute. Aku sungguh ingin mengatakan aku suka kepadanya, hanya aku benar-benar tidak berani melangkah melewati tembok itu. Dammit. Aku ingin tenggelam dalam musik kesukaanku. Secepatnya. Dan Dimas bagai bisa mengerti pikiranku, karena dia memacu motornya dengan kecepatan tinggi sampai akhirnya kami sampai di kos-kosan.

Dimas sedang merapikan letak motornya, ketika mang Eeng, penjaga kos-kosan kami menghampiri Dimas dan berkata,
“Nak Dimas, ada tamu yang cari nak Dimas itu. Lagi nunggu di ruang tamu.”
Aku memandang Dimas yang mengernyit bingung, lalu dia bertanya,
“Siapa mang? Kayaknya saya nggak ada janjian ketemu orang hari ini.”
Mang Eeng dengan cepat menjawab,
“Namanya mbak Nanda. Dia bilang sudah coba hubungin hp nak Dimas, tapi nggak diangkat.”
Nanda? Sepertinya aku pernah mendengar nama itu? Di mana? Siapa yang menyebut namanya? Dan aku terkejut karena Dimas segera berlari ke arah ruang tamu. Aku ikut berlari menyusulnya. Di pintu ruang tamu langkah Dimas terhenti. Aku berhenti di samping Dimas, dan melihat seorang perempuan berambut panjang, sangat cantik, sepertinya seumuran dengan kami, duduk menunggu di ruang tamu. Aku memperhatikan Dimas, wajahnya berubah kaku. Dia bertanya dengan suara tercekat,
“Nanda?”

-bersambung-

Have a nice day,

Natsu

8 pemikiran pada “Narendra dan Dimas bagian 7

  1. Dan pertanyaan gw samak hahahHahhAhah

    Siapa nanda?

    Dan iyes gw akan baca lagi dari awal

    Btw yeeee narendra kesayangan kakanyaaaa ciuman di tempat rame itu enak, deg2nya begitu nyata begitu dekat dan adrenalinenya bikin nagih.

    Sekiyan dan pengen noyor dimas yg kenape nga langsung nyium aje.

    Suka

  2. OPO MENNEH IKI….tambah galaaaauuuuu
    naren udah buka sitik atinya buat dimas. udah sosuiiit dinnernya. udah romantisss bgt d parkiran sierra. udah ybisik bisil mesra.. udah kremet kremet tangan. bah sampek parkiran kosan .muncul karakter mamang penjaga kosan.atiku wea keroso ono sing ga beres iki… dan muncullah nanda bin kuntilini ganjen amit amit pake acara nungguin dimas segala…. ga inget apa…dimas siapin mental buat ngorek info dari haru yg ternyata mantannya naren. NGOMONG SAMA MANTANNYA PACAR TUH RASANE SERRET GAK ENAK BLAS.. sumpah aku keringetan. greget sama naren yg ALOT dan kabar dari mamang mamang sialan itu. tau gitu mamangnya tak kasih CTM biar tidur.jadi dari parkiran naren sama dimas langsung masuk kamar.ngerti kan kalo udah masuk kamar??
    MAAF YA KA DEEN JD NGOMEL NGOMEL.. TAPI AKU SUKAAAAAA… JADI PEMBACANYA DI BIKIN PENASARAN SAMPE EMPOT EMPOTAN. AKU NGOMEL KAYA EMAK EMAK KORBAN SINETRON YAK… SEPURANE YA MBAK KU SING AYUUU

    Suka

Tinggalkan komentar