Narendra dan Dimas bagian 6

Hampir dua minggu berlalu sejak malam aku tidur bersama Naren. Bisa dibilang setelah malam itu, nggak ada kemajuan dalam hubungan kami. Maksudku, aku sudah bilang suka ke Naren tapi dia belum memberiku jawabannya. Meskipun begitu, perlakuan Naren kepadaku tidak berubah. Aku sudah khawatir dia akan menjauhiku setelah malam itu. Untungnya dia tetap seperti biasa. Tetap ngobrol denganku, atau mengizinkan aku goler-goler di kamarnya sambil membaca komik. Iya, iya, aku digantung. Puas kalian?

Seperti malam ini, aku sedang asyik membaca salah satu komiknya ketika sebuah tendangan mendarat di pahaku,
“Heh, balik ke kamar sana, Dim. Elo kan, punya kamar sendiri.”
Tanpa mengalihkan pandanganku dari komik,
“Di kamar gue nggak ada komiknya.”
“Ya bawa aja ke sana.”
“Gue males bolak-balik kalau mau baca terusannya.”
Setumpuk komik lalu mendarat di perutku,
“Nih. Bawa semua ke kamar elo.”
“Elo kenapa sih, ‘Ren? Gue nggak boleh di sini?”
Dia menghela napas,
“Boleh, tapi gue mau keluar.”

Heh? Dia mau keluar? Mau ke mana? Apa dia mau ketemu sama cowok itu lagi?
“Emang elo mau ke mana, Ren?”
Dia memandangku dengan wajah dingin,
“Gue mau kumpul sama temen-temen gue. Di bar.”
Bar?
“Gay bar?”
“Yap. Kenapa? Mau ikut?”
“Gue ikut.”
Dia terlihat kaget mendengar jawabanku.
“Dim, elo serius?”
Aku bangun dari karpet tempat aku berbaring. Kusentuh pipinya sekilas,
“Gue serius. Tungguin gue. Gue mau ganti baju sama ambil kunci motor. Pake motor gue aja.”

Aku mengganti t-shirt dan celana pendekku dengan kemeja dan celana jeans. Kusambar jaket, kunci motor dan helmku, lalu kembali mengetuk pintu kamar Naren. Dia membuka pintu kamarnya, dan aku terpana. Sumpah. Dia keliatan cool, ganteng, sekaligus indah (aku nggak mau bilang dia cantik). Rambutnya dikuncir. Dia memakai kemeja dan celana yang pas dengan tubuhnya. Aku terpana.
Naren menepuk pundakku,
“Woy, jadi ikutan nggak? Kalau nggak, gue pergi sendiri.”
“Jadi…jadi…ayo”, aku mengacungkan kunci motorku.
Kami menuju halaman tempat semua motor penghuni kosan diparkir. Naren menuju Vespanya, mengambil helm, dan kembali ke motorku. Tidak lama kemudian kami berdua sudah berboncengan membelah jalan raya Jakarta. Naren menunjukkan jalan yang harus aku lewati, yang sebenarnya tidak asing bagiku. Hanya aku samasekali tidak menduga ada sebuah bar di situ. Kami masuk ke semacam komplek ruko, lalu parkir di depan bar yang dimaksud Naren.

Aku membaca bar sign yang terletak di atas pintu masuk berkaca gelap, dengan aksen kusen kayu yang cantik, tertulis di sana “Queer”. Nama yang menarik. Naren mendorong pintu masuknya, dan mengajak aku untuk masuk. Di dalam bar, suasananya tidak terlalu ramai. Di meja bar, hanya ada seorang cowok yang dari tempatku sekarang, hanya terlihat punggungnya. Naren menghampirinya, dan menepuk pundaknya,
“Haru…apa kabar?”
Syit. Dia cowok yang waktu malam itu mengantar Naren. Haru memutar badannya menghadap Naren dan aku, tersenyum,
“Hey…Naren, lama nggak ketemu”, lalu mencium kedua pipi Naren. What the hell? Aku cemberut.
“Haru, masih ingat dia?” Naren menunjuk ke arahku. Haru tertawa,
“Tentu saja. Halo Dimas, apa kabar?”
Aku tidak ingin menjawab basa-basinya, tapi tentu saja itu tidak sopan. Akhirnya aku mengangguk sambil menjawab,
“Kabar baik, Haru.”

Seorang bartender menghampiri kami dan menyilakan aku untuk menempati kursi yang tersedia. Naren mengenalkan aku kepadanya,
“Dim, kenalin…ini Eric. Bartender di Queer.”
Eric hanya mengangguk, lalu menanyakan aku mau minum apa. Aku tidak tahu apa-apa tentang minuman yang ditawarkan di sebuah bar, jadi aku hanya minta segelas bir. Naren juga meminta yang sama. Aku lalu menempati kursi di samping kanan Haru, sementara Naren duduk di samping kiri Haru, yang kebetulan juga sudut meja bar. Baru aku meletakkan bokongku di kursi, Haru sudah bertanya kepadaku,
“Jadi, Dimas…apakah kalian melakukannya?”
Aku bengong mendengar pertanyaan itu. Dalam hati aku bertanya, apa selalu seperti ini pembicaraan di antara mereka? Eric yang datang membawa dua gelas bir pun tertarik dengan pertanyaan Haru, dan tidak meninggalkan kami. Sepertinya jawabanku ditunggu banyak orang. Aku memandang Naren, wajahnya terlihat panik dan malu, yang membuatku tersenyum.

Lalu aku berkata,
“Hey Naren, boleh aku memberi tahu mereka?”
Aku nyaris tertawa melihat reaksi Naren yang bertambah panik, juga reaksi Haru dan Eric. Di wajah mereka berdua dengan jelas terlihat kesenangan yang luar biasa. Rasanya ada tulisan ‘JADI MEREKA MELAKUKANNYA’ di wajah Haru dan Eric. Naren akhirnya berkata,
“Terus kenapa kalau kami berdua melakukannya? Lagian siapa yang bisa nolak, kalau seorang cowok, yang kebetulan adalah tipeku, bilang kayak gini, ‘elo boleh ngelakuin apa aja ke gue’
Haru tertawa dan menoleh ke arahku,
“Kamu ngomong kayak gitu, Dim?”
Aku meminum birku,
“Yap. Aku ngomong seperti itu ke Naren.”
Haru tersenyum,
“Hmm…kamu berani juga ngomong kayak gitu. Kamu nggak kepikiran, kalau kamu akan jadi bottomnya Naren? Yah, walaupun aslinya Naren itu bottom.”
“Uhm, kepikiran kok. Tapi buatku nggak masalah sih, mau top atau bottom.”

Tiba-tiba Naren berdiri dari kursinya dan berkata kepadaku,
“Eh? Apa ‘Dim? Maksud elo, elo nggak masalah kalau elo jadi bottom?”
Aku mengangguk,
“Yap. Gue udah mikir dan udah siap-siap kok.”
Naren duduk lagi dan menelungkupkan wajahnya ke meja bar, tangannya terkepal dan memukul-mukul meja seraya mengumpat,
“Syit. Syit. Syit.”
Aku bingung,
“Ren, elo kenapa? Gue salah?”
Haru terbahak,
“Tenang aja. Dia cuma bilang kalau dia bodoh, kenapa dia menyia-nyiakan kesempatan sebagai top. Sepertinya begitu kan ‘Ren?”
Naren mengangkat wajahnya,
“Screw you, Haru!”

Aku menatap wajahnya,
“Kalau gitu, lain kali…elo bisa jadi top ke gue.”
Naren balas menatapku,
“Gue kan, udah bilang…nggak akan ada lain kali.”
“Beneran kok. Elo boleh ngelakuin apa aja yang elo mau.”
Naren lalu berkata dengan suara keras,
“Dimas Arya Nugraha, gue nggak akan terbujuk oleh rayuan elo lagi.”
Eric, Haru, dan aku hanya memandangnya. Lalu tiba-tiba dia berdiri, mengeluarkan dompetnya, mengambil uang, dan menaruhnya di meja bar,
“Gue pulang duluan.”
“Eh, tunggu ‘Ren. Kita pulang bareng.”
“Nggak usah. Gue mau naik taksi.”
Naren pun keluar dari bar.

Di meja bar, hanya ada aku dan Haru. Eric yang baru selesai meracik minuman untuk pelanggan lain menghampiri kami berdua, lalu bertanya,
“Hey Dimas, apa yang kamu suka dari Narendra?”
Haru tersenyum,
“Eh iya, aku juga ingin tahu.”
Aku memandang deretan botol-botol minuman keras yang ada di lemari, menghabiskan bir di gelas keduaku, sambil mengusap-usap kepalaku aku menjawab,
“Kalau ditanya begitu, aku sendiri tidak tahu. Perasaan itu muncul dengan sendirinya. Mungkin karena kami bertetangga di kosan yang sama, juga kuliah di jurusan yang sama. Bersama dengan Naren membuatku merasa nyaman. Aku bisa berbicara padanya mengenai banyak hal. Dan…aku sering berpikir, mungkin Naren menyukaiku. Ah bukan, bukan seperti itu. Aku yakin kalau Naren juga menyukaiku, itu yang membuatku suka kepadanya.”

Eric dan Haru hanya tersenyum. Lalu Haru berkata,
“Kalau begitu aku ucapkan selamat berjuang. Anak itu, walaupun sudah ketahuan kalau dia menyukaimu, tidak akan mudah menerimamu sebagai kekasihnya.”
Eric mengangguk,
“Sama dengan Haru, kuucapkan semoga berhasil menaklukkan seorang Narendra.”
Aku hanya tersenyum mendengar perkataan mereka.
“Terima kasih untuk semangatnya. Tenang saja, aku akan terus berusaha menaklukannya.”
Setelah membayar semua minumanku, aku pun keluar dari bar itu.

***

Keesokan harinya, aku bangun lebih pagi dari biasanya. Langsung mandi dan berpakaian. Setelah rapi, aku langsung ke kamar sebelah dan mengetuk pintunya. Naren membuka pintu kamar, wajahnya masih kelihatan mengantuk,
“Eh, elo Dim…tumben amat udah rapi. Mau ke mana?”
Dengan tegas aku menjawab pertanyaannya,
“Temenin gue nonton sama cari buku.”
Naren mengelak,
“Gue belum mandi. Lagian, nanti jam 2 gue harus sampai ke tempat kerja gue. Ada proyek.”
Aku memaksanya,
“Elo mandi sekarang, gue tungguin di parkiran motor. Gue nggak mau denger kata nggak dari elo.”
Naren hanya bisa menghela napas panjang,
“Oke..oke…gue mandi. Tunggu gue.”

Tidak berapa lama kemudian Naren menyusul ke parkiran motor. Helmnya masih terkait di motorku sejak semalam. Aku langsung memakaikan helm di kepalanya dan mengaitkan kuncinya. Tanpa bertanya kami mau ke mana, Naren langsung naik ke boncengan motorku. Aku menjalankan motorku ke sebuah mall yang letaknya tidak terlalu jauh dari kampus kami. Setelah parkir, aku dan Naren segera menuju ke toko buku. Aku mencari buku untuk tugas yang diberikan dosenku, sementara Naren seperti biasa menunggu di bagian komik. Keluar dari toko buku, masing-masing dari kami menenteng sebuah tas belanjaan dan kami pun langsung menuju ke bioskop. Sempat berdebat karena jam tayang pertama adalah jam 12.15 sementara Naren harus sampai ke kantornya jam 2 siang, akhirnya kami tidak jadi nonton. Kami memutuskan untuk makan siang saja.

Selesai makan Naren langsung pamit,
“Dim, gue duluan ya.”
Nggak mungkin aku membiarkannya jalan sendirian,
“Gue anterin ke kantor elo.”
Wajah Naren memerah,
“Ngapain elo nganterin gue segala? Elo nggak percaya kalau gue mau ke kantor?”
“Bukan gitu. Gue cuma pengen bareng elo. Nggak ada salahnya kan, gue nganterin orang yang gue suka?”
Naren terkejut mendengar jawabanku,
“Nggak salah kok. Terserah elo aja kalo gitu.”
Kami berdua pun berjalan ke parkiran motor. Aku berpikir, kalau begitu aku boleh ngelakuin apa aja kan? Hanya saat ini aku lagi-lagi nggak ngerti jalan pikiran Naren. Dia nggak menolakku tapi juga nggak menerimaku. Apa arti kehadiranku buat Naren?

“Dim…Dimas…”, suara Naren mengembalikan aku ke kenyataan. Kami sudah di depan pintu keluar mall menuju parkiran motor.
“Elo lagi mikir apa, Dim? Wajah elo serius banget.”
Aku hanya bisa tersenyum pahit mendengar pertanyaannya,
“Mikirin elo-lah, siapa lagi?”
Dia tertawa,
“Makasih, udah mikirin gue. Terus, tetep mau nganterin gue?”
“Yap”, jawabku,
Setelah dia naik, aku segera memacu motorku ke kantor Naren.

Aku menurunkannya di depan sebuah bangunan bertingkat 4, yang merupakan kantor sebuah agensi iklan yang terkenal. Dia hampir masuk ke dalam kantor, ketika aku memutuskan untuk memanggilnya,
“Narendra!”
Dia berbalik, dan menghampiriku,
“Kenapa Dim? Ada barang gue yang ketinggalan?”
Aku memandangi Naren,
“Nggak ada. Uhm, Ren…elo beneran nggak bisa ngasih kesempatan buat gue?”
Dia terkejut, “Hah?”
“Gue pengen ada di samping elo, Ren.”
Mata Naren terbelalak memandangku,
“Elo ngomong kayak gini juga ke cewek?”, tanyanya.
“Nggak. Gue cuma ngomong kayak gini ke elo.”
Dia terdiam.
Aku berkata lagi, “Jujur, gue nggak tahu apa yang harus gue lakukan buat ngedapetin elo.”
Yang aku tahu adalah kalau aku berpaling darinya, maka aku pasti tidak akan mendapatkan kepercayaannya lagi.

Dia lalu berkata,
“Dimas, elo nggak akan dengerin gue kan, meskipun gue bilang nggak. Sekarang, terserah elo. Gue kayak gini, elo masih pengen ada di samping gue?”
Aku tersenyum memandang Naren,
“Jam berapa elo selesai kerja? Gue jemput ke sini.”
Dia panik,
“Hah? Ngapain? Nggak usah jemput-jemput gue segala. Gue bisa pulang sendiri.”
“Lho, tadi kata elo terserah gue. Ya gue mau jemput elo dong.”
Dia berjalan mundur ke arah kantornya,
“Gue ada di Queer abis kerja. Terserah elo, mau ke sana atau nggak”, membalikkan badannya dan langsung berlari ke dalam. Meninggalkan aku yang terpana sendirian.

Dear God, apa ini artinya dia mulai mengizinkan aku melangkah ke dalam wilayah pribadinya? Apa artinya dia mulai menerimaku? Aku tidak menduga kalau aku masih akan merasakan hal ini, tersiksa karena cinta. Aku bahagia, sekaligus merasa tersiksa.

-bersambung-

Have a nice day!

Natsu

5 pemikiran pada “Narendra dan Dimas bagian 6

  1. lagi lagi di bikin gwemmeees…. naren ALOT bgt yaaak.. tinggal ngomong iya aja kol susahnya minta ampun. padahal dimas idah sweet pake biang pula ituuuh. kali gw udah kolesterol dah… pliss ka deen. jangan pelitbpelit napa. kasih kissing scene. aku yg baca jadi keringetan gara gara gemmeeessss sama naren. pengen masuk jd karakter di ff ini.terus mau keplak kepala naren biar sadar. WOY SADAR REM.. ITU DIMAS KURANG APA…KALO GA MAU .BUAT AKU AJA
    trus seret karakter dimas keluar dari ff. gw pacarin wes
    kayanya aku gila….tak apalah ini BEGADANG YANG ADA ARTINYA
    MAMACEEH KA DEEN UDAH MAU LANJUTIN NARENDIMAS AKOOO (EH DIMAS ITU SAMA KAYA NAMA ADEKKU.SUMPAH GA BOONG)

    Suka

    • Sukak banget sama bocah ini kalo komen. Bagaikan bikin cerita sendiri.

      Iya yak, Natsu pelit kissing scene di cerita ini yah? Ya ya…tunggu ya.

      Dimas nama adikmu tha? Natsu sukaknya nama2 sansekerta gitu, jadi semua anaknya dikasik nama begitu.

      Makasih ya Alee…semangat bikin lanjutan yang cakep nih

      Hohoho…

      Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar