Natsu no Ringo (Summer Apples)

Music: Yuki Kajiura
Lyrics: Yuki Kajiura
Arrangement: Yuki Kajiura
Vocals: Kalafina

hidden by the hedge of sunflowers
we swiftly kissed
it seems your cheeks
were surely very sweet

we chase a wild rabbit among the grass
with no one in sight
in a field that pretends not to recognize us
our shoes we kicked off marks our way

a summer where nothing happened
all we did was fall in love

the dancing crescent moon of the midsummer night
brings us the love we dream of
as i count the lemon colored stars
i place a kiss on your heart

the sound of the flute carries you away
in the wind heading towards the approaching autumn

the green apples that are too young
bear the taste of silver paper
you’ve taken it from a branch where pain ripens
and given it to me

we dream of a restless fish
it was an endless summer
my heart, the seasons, and the apples
forget to even change colors

the weathervane that is sensitive to the cold
sings “it will be fall very soon!”

on a midsummer night where the crescent moon sways
i remember our forgotten love
the petal of a dream
the chiming of the stars
i place a kiss on your heart

those summer’s innocent apples
will forever be the fruits within my heart

 

Kanji translations : missjasminnn/cantaperme.net

 

Two Sexy To Anniversary

Bzzzzzt…bzzzzzt…

Ponsel pribadi di meja kerja Nanon bergetar, sengaja di-silent karena Nanon tidak ingin diganggu oleh urusan pribadi di jam kerjanya. Hanya sekarang 15 menit menjelang jam 6 sore, tidak apalah urusan pribadinya ditengok lebih cepat.

[Hey Schatz…don’t be late, yes? Remember, our anniversary dinner. Wuv you!]

Nanon tersenyum membaca pesan di ponselnya. Pesan dari seorang Pawat, yang memutuskan untuk menjadi kekasihnya tepat di hari ini, 2 tahun yang lalu. Schatz adalah panggilan kesayangan Pawat kepadanya, berasal dari bahasa Belanda yang artinya sayang. Entah dari mana dia mendapatkan kata itu, ketika Nanon menanyakannya Pawat hanya menjawab, pernah baca di mana tapi lupa.

Jemari lentik Nanon lalu bergerak di kibor ponselnya,
[Yes, Bebe. I’ll be home soon. Wait for me…], ketiknya.

Tepat jam 6 Nanon mematikan komputer dan merapikan mejanya. Sekarang giliran ponsel kantor di-silent dan dimasukkan ke dalam ranselnya, sementara ponsel pribadinya masuk ke saku dalam jasnya. Disandangkannya ransel ke bahu dan diraihnya sebuket bunga mawar merah yang tadi dipesannya di florist lantai dasar. Nanon sengaja minta buket tersebut diantar ke kantor alih-alih ke rumah, walaupun dia tahu Pawat pasti di rumah karena dia sengaja mengosongkan jadwalnya di hari perayaan mereka. Sayangnya, Nanon tidak bisa mengajukan cuti karena sudah ada rekan setimnya yang cuti. Itulah sebabnya Nanon membelikan buket bunga mawar untuk Pawat.

Diletakkannya buket bunga mawar dengan hati-hati di kursi penumpang mobilnya, dan ransel di bawah kursi tersebut. Dengan cepat Nanon beralih ke kursi pengemudi, dan menyalakan mesin mobilnya. Sebelum menjalankannya, Nanon menyempatkan untuk mengetik, [Bebe, i’m otw home..😘]

Memasuki carport rumahnya, Nanon terheran-heran dengan keadaan dalam rumahnya yang gelap gulita. Lampu teras sudah menyala, tapi kenapa lampu dalam masih mati semua, batinnya. Masa’ iya, Pawat ketiduran dan lupa menyalakan lampu? Diparkirnya mobil di carport, mematikan mesinnya, lalu diraihnya buket bunga dengan cepat ke dalam pelukannya. Ransel ditinggalkan di mobil karena Nanon sedikit panik, khawatir terjadi apa-apa dengan Pawat di dalam rumah.

Saking paniknya, kunci rumah terlupakan karena masih di dalam ransel, dan ketika Nanon hendak berbalik ke mobil untuk mengambilnya, kunci pintu rumah diputar dari dalam dan pintu pun terbuka sedikit. What the hell, pikir Nanon… Kamu ngapain sih, Paw? Dilangkahkannya kaki memasuki rumah dan ternyata di dalam rumah walau dari luar terlihat gelap, ada secercah cahaya warna-warni dari lampu led. Meskipun begitu, tetap tidak ada tanda-tanda keberadaan Pawat.

“Bebe…!”
“Paw, Paw-Paw, Pawat… aduh, di mana sih?”
“Bebe, plis jangan bercanda. Kamu di mana?”

Ditutupnya pintu depan dan Nanon terus melangkah sampai ke ruang tengah, hingga tiba-tiba suara musik terdengar dan lampu ruang tengah menyala terang. Tampaklah di sana sesosok tubuh ramping dan kekar, terbalut croptop berwarna hitam-putih, bercelana jeans dengan kancing-kancing pengganti ritsleting, berpose dengan seksinya seakan-akan sedang menjalani sesi pemotretan untuk majalah.

Nanon menundukkan kepala dan menutupi wajah dengan tangannya yang bebas, bibirnya membentuk senyuman lebar. Astaga, berulah apalagi pacarnya kali ini?
Senyumnya berubah menjadi tawa terbahak ketika lagu yang terputar adalah I’m Too Sexy dari Right Said Fred, dan Pawat makin liar berpose di depannya.

“Paw, kamu ngapain sih?”
“Kasih surprise buat kamulah, Schatz”, jawab Pawat sambil meliukkan badannya mengikuti irama lagu.

“Hmm…itu buat aku?” tanya Pawat sambil menunjuk buket bunga yang dibawa Nanon.

“Yes, happy 2nd anniversary, Bebe. Sorry, nggak bisa nemenin kamu sesiangan ini”, Nanon menjawab sambil menyerahkan buket dan mencium pipi Pawat.

Pawat meraih buket bunga tersebut ke dalam pelukannya. Matanya menatap lekat wajah Nanon di hadapannya, sambil membalas ciuman pipi tadi bibirnya mendekat ke telinga Nanon, “Bunga dan cium pipi aja nggak cukup, Schatz…”

Nanon menggelengkan kepalanya sambil tersenyum, satu tangannya bergerak merangkul pinggang ramping Pawat, dan dikitarinya tubuh kekar kekasihnya itu  sehingga Nanon sekarang berdiri di belakangnya.

Tangan yang tadinya di pinggang bergerak merayapi perut rata dan keras Pawat yang tidak tertutup, diletakkannya dagu di bahu Pawat dan bibir Nanon bergerak mendekat ke telinga Pawat. Sambil berbisik, “Memang kamu mau apa lagi, Bebe?”, digigitnya cuping telinga Pawat dengan lembut sampai lelaki kekar itu menjatuhkan buket bunganya ke lantai dan membalikkan badannya sehingga mereka kembali saling berhadapan.

Kali ini kedua tangan saling merangkul pinggang satu sama lain. Mata keduanya saling menatap, dan bibir mereka sama-sama tersenyum. Nanon menyentuhkan bibirnya dengan lembut ke bibir Pawat, yang tentu saja disambut dengan pagutan Pawat yang makin lama makin liar, sampai tiba-tiba Nanon menjauhkan bibirnya dari bibir Pawat, “Jawab dulu, Paw…kamu mau apa?”

Pawat meraih tangan Nanon yang berada di pinggangnya dan mengarahkan tangan tersebut ke bukaan celana jeansnya yang berupa kancing.

I want you to open those buttons…”
“Just that? ‘Kay….”

Tangan Nanon mulai membuka satu persatu kancing celana jeans Pawat, hingga pada kancing ketiga tangannya ditarik Pawat dan dimasukkan ke celana jeansnya. Nanon terkejut karena tiba-tiba tangannya merasakan kejantanan Pawat yang sudah menegak dan tidak ada lapisan kain lagi selain celana jeans yang dipakainya. Nanon terbahak karenanya, dan dengan tangannya yang bebas diraihnya dagu Pawat, “So you’re going commando this whole afternoon?”

Pawat mengangguk, “I can’t stand it anymore. Please, give me. Stroke me with your hand. Just give me, Schatz. Please.

Tangan Nanon yang berada di dalam celana jeans Pawat mulai mengelus pelan, disentuhnya bagian kepala yang terasa lebih besar, dan cairan pre-cum membasahi tangannya. Kedua tangan Pawat mulai memeluk leher Nanon, mencari topangan karena kakinya mulai terasa lemas. Nanon terus memijat kejantanan Pawat, dan sampai akhirnya Pawat berejakulasi dan mengeluarkan cairan sperma di tangan Nanon.

Nanon berjalan ke arah dapur dan mencuci tangannya di basin. Setelah mengeringkan tangannya dengan towel kitchen, Nanon kembali ke Pawat yang masih berdiri bersandar di meja makan. Peluh membasahi wajah Pawat, nafas yang tadinya terengah-engah perlahan mulai teratur.
Nanon memandangi wajah kekasihnya, diciumnya dahi Pawat dengan lembut, “For now, you okay with just my hand?” tanyanya. Pawat mengangguk, “I want more, but better save it for later. Thank you, Schatz. Dinner first.” Nanon tersenyum sambil merapikan celana jeans Pawat dan mengancingkannya.

Dinner first. Happy 2nd Anniversary, Bebe. I wuv you very very much…

Lemon and Salt Kiss

Tharn x Type
Cuma potongan adegan 🤭
Karakter dari Tharn Type the Series
Bahasa Indonesia

*srskkkk…srskkkk*
*plop*

Type merasakan sesuatu jatuh dari saku jaketnya. Dipandangnya lantai dekat sepatu kanvasnya, sebungkus permen tergeletak di sana. Type memungut dan membaca merek permen tersebut.

“Cocoon…lemon and salt candy”, gumamnya. “Permen dari mana? Kayaknya nggak pernah beli merek ini”, tambahnya sambil menggaruk kulit kepala yang tidak gatal. “Ah, sebodo amat, gue makan ajalah”, sambil terus bergumam tangannya membuka bungkus permen tersebut dan memasukkannya ke dalam mulut.

“Asseeeeem, asyiin..!”, teriaknya sambil mengerjap-ngerjapkan mata. “Buseeet, siapa sih…yang narok di kantong jaket gue?”, serapah Type.

*plaaaak*

Sebuah tangan terasa mendarat di punggung Type. Type pun reflek menoleh dan hampir terjatuh kalau Tharn tidak meraih pinggangnya.

“Weey…hati-hati Type. Jangan noleh mendadak gitu, nggak baik buat jantung”, seloroh Tharn sambil mengetatkan tangannya di pinggang Type. “Apaan sih, Tharn…elu yang bikin kaget gue, main tepok punggung aja”, sambil berkata Type menepis tangan Tharn.

Tharn tersenyum dan kembali meletakkan tangannya di pinggang Type. Kepalanya mendekat ke leher Type dan, “Aku kangen”, Tharn mengenduskan hidungnya ke leher Type. “Kangen pala lu, bangsat”, toyor Type. Tharn mengangkat kepalanya dan menatap mata Type yang sama tinggi dengan matanya, “Kok kamu bau lemon, Type? Kamu habis minum pembersih lantai rasa lemon?”

“Eeeeh..si anyiing”, Type mendorong kepala Tharn menjauh darinya, “Gue lagi makan permen ini. Nggak tau dari siapa, tadi ada di kantong jaket gue”, sambil menyodorkan bungkus permen kosong ke Tharn.

“Cocoon..lemon and salt candy”, Tharn membaca perlahan. “Enak?”, tanyanya. Type mencecapkan lidahnya, “Enak. Asem asin seger gitu”. Mata Tharn terus menatap mulut Type, “Aku minta, sini”. Type menggelengkan kepalanya, “Nggak ada lagi, cuma satu!”.

Tharn menyipitkan mata, bibirnya membentuk senyuman yang jahil, “Gigit deh, bagi dua!”. Type menatapnya dengan curiga, “Mau ngapain?”.
“Nggak ngapa-ngapain, cuma minta bagi dua. Separoh buat aku”, wajah Tharn jadi serius dan bibirnya tidak tersenyum jahil lagi. Type masih menatap curiga, permen masih terasa utuh di mulutnya.

*kretuuuuuk*

Bunyi cukup keras terdengar dari mulut Type ketika dia mengigit permen utuh tersebut. Tangannya hampir masuk ke dalam mulut untuk mengambil separuh permen, ketika tiba-tiba saja tangan tersebut ditahan oleh Tharn. Lalu Tharn berbisik di telinga Type, “Biar aku yang ambil”.

Type menatap mata Tharn, ada kilatan nakal di sana. Type balas berbisik di telinga Tharn, “Pakai apa elu mau ambil?”. Mata keduanya saling menatap. Tharn mengangkat jari telunjuk dan menempelkan jari di bibirnya lalu memindahkannya ke bibir Type, “Buka sedikit mulutmu, Type”, perintahnya. Type menurut. Dalam sekejap, bibir Tharn menutup bibir Type. Lidah Tharn membuka bibir Type dan menuntunnya untuk mengambil separuh permen dari dalam mulut Type. Ketika permen sudah berada di dalam mulutnya, Tharn melepaskan bibirnya dari Type. Syit…Type sedikit merasa kehilangan.

“Wah iya, enak! Asem sedikit asin gitu”, seloroh Tharn. Type memperhatikan Tharn yang sedang asyik mencecap permen. Tangan Type pelan-pelan terulur ke leher Tharn dan merengkuhnya dengan cepat. “Eh Type, kamu ngap…”, Tharn tidak dapat menyelesaikan kalimatnya karena bibir Type sudah menutup mulutnya. Pelan-pelan lidah Type  meminta bibir Tharn untuk membuka, lalu menaruh separuh permen sisa dari dalam mulutnya ke dalam mulut Tharn.

Type melepaskan bibirnya dan tersenyum kepada Tharn yang menatapnya dengan penuh harap, “Buat elu aja permennya, Tharn…gue mau permen yang lain, nanti di rumah”.

😋😋😋

Tangerang, 05 April 2020

Cermin dan Dia

Cermin. Satu benda yang menurutku tidak akan pernah memberitahu setitik kebohongan pun kepadaku. Kecuali, mungkin cermin milik ratu jahat dalam kisah dongeng Snow White and The Seven Dwarfs. Itu juga karena ada peri jahatnya kan? Apa yang ada di diriku, itu pula yang dipantulkan oleh cermin di sudut kamarku ini. Tidak pernah lebih, juga tidak pernah kurang.

Kupandangi pantulan diriku dalam cermin. Lalu kupandangi pantulan dirinya yang masih tertidur di tempat tidur. Bagiku dia juga seperti cermin, selalu mengatakan kepadaku apa adanya. Sejak pertama mengenal dia di bangku kelas satu sekolah dasar,  duapuluhlima tahun yang lalu sampai sekarang. Sekali atau dua kali, ada setitik kebohongan dalam kata-katanya, tapi manusia mana yang tidak berbohong?

Tanganku menelusuri pantulan rambutku di cermin. Rambut yang pendek, kaku, dan nyaris kasar. Sama sekali tidak ada kelembutan di sana. Sama sekali tidak menyenangkan untuk diraba atau diusap. Hanya dia yang mengatakan rambut di kepalaku begitu lembut dan menyenangkan untuk dielus-elus.

Tanganku menelusuri pantulan dahiku yang lebar. Dahi yang menurutku mungkin bisa menjadi tempat mendarat pesawat terbang. Dia hanya tertawa mendengar omelanku tentang dahi ini. Sambil tertawa dia berkata dahi yang lebar memungkinkannya untuk mendaratkan kecupan di beberapa tempat sekaligus, di pinggir atau di tengah.

Tanganku menelusuri pantulan alisku yang tebal dan hitam, dan hampir menyatu bagai jembatan di atas hidungku. Alis yang membuat wajahku terkesan galak dan tidak mau diganggu. Dia bilang bagus kalau wajahku terlihat galak, karena tidak akan ada yang berani dekat-dekat denganku. Hanya dia yang boleh mendekatiku.

Beralih ke pantulan mataku. Mata yang hitam dengan pandangan tajam menusuk ulu hati. Beberapa temanku berkata hanya dengan memandang mataku, mereka bisa membeku menjadi batu. Aku tahu mereka hanya bercanda, tapi candaan itu membuat dia marah. Kala itu dia hampir meninju mereka yang mengatakan itu. Hanya dia yang berkata kalau dia merasakan keteduhan sewaktu menatap ke dalam mataku.

Tanganku masih menelusuri pantulan wajah di cermin, kali ini hidungku. Hidung yang sedikit lebih besar, hampir memenuhi wajahku. Yang di saat aku terserang pilek, berubah warna menjadi merah dan membuat dia tertawa. Dia bilang aku jadi mirip badut, tapi dia dengan segera meminta maaf dan mengecup hidungku. Supaya aku cepat sembuh, katanya.

Dan bibirku, bagian yang paling aku sukai dari wajahku. Bibir yang tidak terlalu tebal juga tidak terlalu tipis. Dengan warna merahmuda yang lembut. Bibir yang menurut dia adalah bagian favoritnya juga. Pertama kali dia menyentuhkan bibirnya dengan bibirku adalah saat usai pesta kelulusan S1ku. Di bawah pengaruh alkohol dan ledekan teman-teman yang hadir, kami pun saling menyentuhkan bibir kami. Yang ternyata mengantarkan sengatan listrik bagi kami berdua dan tentu saja tidak cukup hanya dengan saling menyentuh. Pesta berakhir dengan bibir kami saling melumat, dan lidah saling membelit.

Setelah itu aku menyadari kalau aku membutuhkan dia, dan dia membutuhkan aku. Kami saling jatuh cinta. Dan di hari pertama aku masuk kerja dia memintaku untuk menjadi kekasihnya. Aku menerima permintaannya. Aku. Dia. Kami sepasang kekasih sejak saat itu. Sampai sekarang.

Tanganku masih menelusuri pantulan di cermin, kali ini dada. Dada yang keras, tidak lembut sama sekali. Dada seorang laki-laki dewasa, bukan dada seorang perempuan. Ketika aku menanyakan padanya, apa dia tidak ingin menyentuh dada seorang perempuan. Dia hanya tersenyum dan menenggelamkan kepalanya di dadaku. Katanya, ini sudah cukup. Dia bilang dia merasakan kehangatan di sana, kehangatan yang pasti sama antara laki-laki dan perempuan.

Kualihkan tanganku ke perutku yang rata, hasil paksaannya untuk rajin latihan di pusat kebugaran sebanyak tiga kali seminggu. Perut dengan ketiadaan rahim, yang diperlukan untuk meneruskan keturunan. Pertanyaan yang selalu kuajukan di awal-awal hubungan kami, apakah dia tidak ingin mempunyai anak. Dia selalu terdiam dan tidak menjawab jika aku menanyakan hal itu. Hanya saja suatu hari dia menjawab dia ingin mempunyai anak, denganku tentu saja. Aku tertawa keras mendengar jawabannya, karena itu tidak mungkin. Mungkin saja, kilahnya. Kita akan menikah, walau harus pindah kewarganegaraan dan kita akan mengangkat anak. Begitu yang dia katakan.

Aku kembali memandangi pantulan wajahku di cermin, yang kali ini ada tambahan air mata yang mengalir di sana. Air mata yang tidak bisa kutahan bila mengingat semua yang kami lalui bersama. Kupandangi pantulan lelakiku di cermin, yang sudah terbangun dari tidurnya dan kini melangkah mendekatiku. Tangannya melingkari pinggangku. Dada dan perutnya menempel erat di punggungku. Kepalanya tenggelam di pundakku. Cerminku memantulkan pemandangan yang indah di mataku.

“Why are you crying?”
“No. I am not crying.”
“Liar. What’s this tears on your face?”
“Tears of happiness, i guess. Just thinking of you, me, and ours.”
Dia mengangkat kepalanya dan tersenyum.

Aku tidak menyadari kalau tangannya ternyata menggenggam sesuatu. Tangan kanannya meraih tangan kiriku, meraba jari manisku, memasukkan sebentuk cincin keperakan ke batang jariku, membawa tanganku ke bibirnya dan menciumnya.

“Happy anniversary, my dear. We’ve been together for 8 years. Not to mention we’ve known each other since our childhood time. So, i think it’s time to take a great big leap for us. Will you marry me?”

Air mataku kembali mengalir dengan deras. Kubalikkan tubuhku menghadapnya, dan kujatuhkan diri dalam pelukannya. Lelakiku, lelaki yang perkataan dan tindakannya bagaikan cermin buatku, hari ini melamarku. Kubiarkan diriku terisak dalam peluknya, sebelum akhirnya aku menjawab,

“Yes. I will marry you.”

Buat maz Bakpao dan maz Kembang.

Suatu Senja di Kuta

Aku memandangi lautan luas yang terbentang di hadapanku. Suara deburan ombak tanpa putus memasuki ruang telingaku. Yang kemudian dihantarkan oleh jutaan sel syaraf menuju ke sel-sel kelabu di dalam tempurung kepalaku. Membuatku merasa semakin terbuai dengan kelembutannya.

Sama halnya ketika pertama bertemu denganmu. Jabat tanganmu yang erat, yang menghantarkan gerigit listrik statis ke sekujur tubuhku. Lalu gerigit listrik statis itu seketika berubah menjadi sengatan yang tajam ketika aku memandang matamu.  Mata yang dalam, mata yang memberi ketenangan, mata yang lembut sekaligus tegas. Aku bagaikan terhisap masuk dalam kedalaman mata itu.

Jangan keluarkan aku dari tatapan mata itu, teriakku.

Sejak saat itu aku selalu berada dalam tatapan matanya. Saat bersamanya, dia tidak pernah mengalihkan tatapannya dariku. Selalu aku, dan hanya aku. Milikku adalah miliknya. Duniaku adalah dunianya. Hanya ada dia dan aku. Salahkah aku bila aku beranggapan seperti itu?

Kami berdua memandang matahari senja yang sudah siap kembali ke peraduannya. Suara debur ombak masih mengalun pelan di telingaku. Aku mengalihkan mataku, menatap wajah teduh yang ada di sampingku. Dia menoleh dan balas menatapku, lalu tersenyum. Tangannya terulur dan meraih tanganku, menggenggamnya erat-erat.

Seiring dengan genggaman tangannya yang semakin erat, arus ingatan dalam sel-sel kelabu di kepalaku pun seperti mengalir keluar. Saat pertama kali tangan kami bersentuhan. Saat pertama kali kami saling membisikkan kata cinta. Saat pertama kali bibir kami saling bertemu dan lidah kami saling bertautan. Saat pertama kali dia menyentuhkan tangannya di tubuhku. Juga saat akhirnya kami pertama kali menyatukan hasrat yang membara di bawah sana.

Yang mengalir keluar bukan hanya arus ingatan yang indah, arus ingatan yang membuatku hampir gila pun turut mengalir. Saat di mana kami harus memilih, tetap bersama atau kembali ke kekasih masing-masing. Saat di mana kami menghadapi keluarga yang sama sekali menentang hubungan kami berdua. Saat kami akhirnya memutuskan untuk keluar dari pekerjaan kami dan hengkang dari ibukota. Saat di mana kami harus menyesuaikan diri lagi di tempat yang baru, yang sama sekali juga tidak mudah.

Kuraih genggamannya dan kukecup lembut punggung tangannya. Kupandangi cincin platina yang melingkar di jari manis kirinya, yang bertuliskan namaku di bagian dalamnya. Cincin dari bahan yang sama juga melingkar di jari manis kiriku, tentu saja bertuliskan namanya. Cincin yang menjadi saksi atas janji kami untuk saling setia. Dia tersenyum dengan lembut dan balas mengecup punggung tanganku….

“Natsu, jangan bengong aja! Pulang yuk, sunsetnya juga udah ilang tuh!” suara teriakan Mela membuyarkan lamunanku.
“Iya…iya…bentar. Tungguin ‘Mel, aku beresin ini dulu.”

Sambil membereskan bawaanku, aku menatap ke arah dua lelaki yang sedari tadi duduk menghadap pantai. Lelaki yang duduk di sebelah kanan tampak sedang mengecup punggung tangan lelaki di sebelahnya. Ah, tampaknya mereka adalah sepasang kekasih. Aku tersenyum memandangi mereka.

“Natsu!!! Cepetan sik.”
“Iyaaaaa…”

Mela bawel! Aku pun segera beranjak dari tempatku. Sesekali masih kutolehkan kepalaku ke arah dua lelaki yang kini hanya terlihat sebagai siluet yang indah. Senja yang indah, di pantai Kuta.

The Two Little Demons and Taylor Swift

image

“P’White, lagi liyat apa sih di henponnya?”
“Mau tau aja atau mau tau banget?”
“Aku kan nanyak, masa’ dibales nanyak sih.”
Nong White mesem-mesem nggak jelas,
“Nggak liyat apa-apa, cuma lagi balesin chat.”

image

“Nong Captain, kamu masih penasaran ya?”
Giliran nong Captain yang nyengir,
“Iya p’. Kalau nggak mau ngasih tau, nggak apa-apa.”
“Eh kok udah nyerah aja. Coba rayu aku. Kalau rayuanmu keren, aku kasih liyat deh.”
Nong Captain dalam hati,
“Haduh, ngerayu apa biar dikasih liyat.”

image

Nong Captain nyoba melancarkan rayuan mautnya,
“P’White…p’White yang ganteng, kayak sekoteng, pakek baju koneng, tambah mentereng deh.”
Nong White langsung nyengir,
“Oh, aku pakek baju koneng kliatan ganteng ples mentereng ya? Oke. Deal.”
Nong Captain keliatan seneng, bisa dikasih liyat henpon nong White,
“Eh…oooh, akun instagramnya Taylor Swift.”

image

Nong White langsung senyum lebar,
“Iya, dia keren banget. Vidio klipnya yang baru, udah liyat?”
Nong Captain juga senyum lebar,
“Udah-udah, aku udah liyat. Keren emang. Nggak bosen dengerin lagunya.”
“Ya kan…yang Shake It juga keren, tapi aku sukak yang Blank Space.”
Nong Captain mandangin nong White yang tersenyum sumringah, sambil bilang dalam hati,
“But I’ve got a blank space, baby
And I’ll write your name.”

Dan berakhir dengan malam ini nong Captain follow akun IGnya mbak Taylor Swift

note : Natsu nggak bisa tidur, jadi bikin beginian deh…

    

Narendra dan Dimas bagian 8

Aku menatap langit-langit kamarku dengan perasaan tidak menentu. Sudah jam 4 subuh dan aku belum bisa memejamkan mataku. Ingatanku kembali ke beberapa jam yang lalu di ruang tamu, di mana waktuku seperti berhenti di saat Dimas menyebut nama itu dengan wajah yang kaku dan suara yang tercekat. Ya, Nanda. Aku ingat dia. Mantan pacar Dimas.

“Nanda, kamu ngapain ke sini?” tanya Dimas dengan nada marah.
“Udah hampir jam 12, di kosan cowok pula. Ayo, aku antar kamu pulang”, sambung Dimas sambil menarik tangan Nanda.
Nanda menarik kembali tangannya,
“Aku mau ngomong sama kamu, Dim. Dari tadi aku coba menghubungi kamu ke hp, tapi nggak keangkat juga.”
Aku memandang ke arah mereka berdua, tentu saja Dimas tidak akan mengangkat hpnya karena sedang bersamaku. Dimas yang akhirnya sadar kalau aku ada di ruang yang sama, memintaku untuk meninggalkan mereka,
“Ren, bisa tinggalin kita berdua?”
Aku hanya mengangguk dan berjalan ke kamarku. Aku tidak tahu lagi apa yang terjadi di antara mereka, dan aku merasakan ada sesuatu yang menusuk-nusuk di dadaku. Sampai di kamar, aku langsung menyembunyikan tubuhku di balik selimut. Sampai sekarang.

Aku mencoba memejamkan mataku lagi, tapi yang ada malah berbagai pikiran aneh melintas di kepalaku. Aku tidak pernah kenal dengan pacar Dimas, karena mereka tidak sekampus dengan kami. Aku hanya mendengar dari cerita Dimas, terutama kalau Dimas curhat habis putus dengan pacarnya. Nanda adalah yang terakhir putus dari Dimas. Setelah itu, tentu saja Dimas selalu bersamaku, meskipun aku belum mengatakan mau menjadi pacarnya.

Kuhadapkan badan ke dinding di sebelah kananku. Aku meraba dindingnya, dinding yang berbatasan langsung dengan kamar Dimas. Apakah dia sudah pulang? Sedang apakah dia di kamarnya? Tidurkah? Atau seperti aku, yang tidak bisa tidur karena tenggelam dalam pikiranku sendiri. Atau malah dia masih bersama Nanda? Syit. Nanda. Nanda. Nanda. Kenapa nama itu malah terus terngiang di kepalaku? Apa yang dia mau dari Dimas? Apakah dia mau mengajak Dimas kembali kepadanya? Aku mengepalkan tanganku.

Tidak. Jangan. Aku mohon, jangan kembali padanya. Jangan ambil Dimas dariku. Tunggu. Memang aku siapa? Aku bukan pacar Dimas. Aku tidak bisa melarangnya jika ingin kembali kepada Nanda. Kepalaku berkata aku tidak boleh melarangnya, tapi ternyata hatiku berkata lain. Aku tidak ingin merasakan hal sedih yang sama lagi, ditinggalkan demi seorang perempuan. Aku tidak ingin kehilangan Dimas. Aku merasakan sesuatu yang basah dan hangat mengalir di pipiku. Aku menangis? Kapan terakhir kali aku menangis? Rasanya sudah lama sekali, sejak Reza meninggalkan aku. Aku menutup mataku.

Samar-samar aku mendengar ketukan lembut di dalam tidurku. Aku membuka mata, dan mencoba menajamkan pendengaranku. Ternyata memang ada suara ketukan lembut di pintu kamarku. Aku melihat jam di dinding, jam setengah 7. Siapa yang datang di Minggu pagi begini? Dengan berat kuseret tubuhku untuk membuka pintu. Aku memutar kunci dan membuka pintu kamarku sedikit. Dimas? Aku langsung membuka pintu kamarku, menyandarkan tubuhku di kusen pintu karena aku masih sangat mengantuk dan tubuhku terasa lemas. Dimas menatapku. Dia sudah berpakaian rapi, tapi wajahnya terlihat lelah.
“Ren, boleh gue masuk? Ada yang mau gue omongin.”

Ini dia, ada yang mau gue omongin. Perutku langsung terasa mulas, bukan mulas karena mau pup, tapi mulas karena sesuatu yang ingin dia bicarakan. Aku membiarkannya masuk ke kamar dan menutup pintu kamarku.
“Gue ke kamar mandi sebentar ya. Mau cuci muka sama sikat gigi”, kataku.
“Okay.”
Di kamar mandi aku menatap wajahku di cermin wastafel, dan aku baru menyadari kalau mataku bengkak. Syit. Semoga Dimas tidak melihatnya. Segera aku menyikat gigi dan menyiram wajahku dengan air. Lumayan. Bengkaknya agak hilang. Keluar dari kamar mandi, aku melihat Dimas sedang duduk di karpet, bersandar di sisi tempat tidurku.

Aku menyusul duduk di sampingnya dan mencoba mencairkan suasana dengan berkata,
“Jadi, apa yang mau elo omongin? Cuma mau ngomong sama gue, elo udah rapi begini?”
Dimas menoleh dan menatapku dengan wajah seriusnya. Tangannya terulur menyentuh pipiku, ibu jarinya mengusap lembut kelopak mataku, dan aku membiarkannya.
“Gue liat mata elo bengkak, Ren. Elo abis nangis?”
Siyal, dia melihat mataku yang bengkak. Aku menurunkan tangannya,
“Gue nggak boleh nangis gitu?”
Dimas menarik tangannya, tersenyum lembut dan mengacak-acak rambutku,
“Boleh aja. Cuma gue jadi penasaran, kenapa elo nangis. Apa karena cowok yang ketemu di parkiran Queer semalem, atau karena hal lain?”
Syit. Aku nangis bukan karena dia, tapi karena kamu. Tunggu. Kenapa tiba-tiba Dimas menyinggung tentang Reza?
“Gue nangis bukan karena dia. Kenapa elo nanya begitu?”
“Nggak apa-apa, gue pikir elo nangis karena dia. Gue punya perasaan, dia pacar pertama elo kan? Yah, ini perasaan gue aja sih, gue nggak tahu yang sebenernya.”

Aku kaget mendengar kata-katanya. Hebat. Perasaannya tajam sekali.
“Hebat. Elo bisa tau dia pacar pertama gue. Beneran perasaan elo, atau ada yang udah ngasih tau?”
Dimas tersenyum,
“Sorry, kemarin malem gue sempet ngobrol sama Haru, sebelum ketemu elo di parkiran. Gue yang tanya-tanya ke Haru.”
Pasti wajahku penuh dengan tanda tanya karena dia melanjutkan lagi,
“Haru cuma kasih tau kalo dia pernah pacaran sama elo. Tentang pacar pertama elo, itu beneran perasaan dan tebakan gue. Haru nggak kasih tau apa-apa tentang dia. Jadi, jangan marah ke Haru. Marahnya ke gue aja. Gue yang mau tau tentang elo. Oke?”
Mana bisa aku marah sama kamu, this annoying but I love him-brat. Aku menarik napas panjang,
“Yap. Namanya Reza, pacar pertama gue. Eh, kenapa jadi ngomongin dia. Dia udah nggak ada hubungan apa-apa sama gue. Elo mau ngomong apaan?”, aku baru ingat kalau dia mau bicara tentang sesuatu.

Dimas hanya tersenyum, menepuk-nepuk kepalaku lagi, lalu menunduk,
“Cewek yang semalem dateng, Nanda…”
Aku menyelesaikan kalimatnya,
“Mantan cewek elo kan?”
Dimas memandangku. Aku melanjutkan,
“Elo pernah cerita ke gue kan? Cewek elo yang terakhir namanya Nanda. Gue masih inget.”
Dia menggelengkan kepalanya lalu tertawa,
“Jadi, semalem..kita sama-sama ketemu dengan mantan pacar? Huuuft.”
Aku pun ikut tertawa. Lalu aku memberanikan diri untuk bertanya,
“Ada hal penting apa, sampai Nanda datang ke sini. Nungguin elo sampai malem pula?”
Dimas memeluk lututnya, kepalanya tertunduk lagi, dan dia berkata dengan pelan,
“Dia…minta balik ke gue. Dia bilang, dia nggak bisa ngelupain gue.”

Syit. Aku nggak ingin mendengar jawabannya, tapi aku penasaran sekaligus pasrah. Apapun jawabannya aku harus bisa menerimanya, meskipun dadaku sesak karena aku mencintainya.
“Terus, apa jawaban elo?”
“Gue belum jawab. Gue minta waktu. Abis nganter Nanda pulang gue nggak bisa tidur, semaleman gue berpikir di kamar.”
Jadi, dia di kamar semalaman. Sama sepertiku, tidak bisa tidur karena terus berpikir. Dimas berkata lagi,
“Gue mau kasih jawabannya hari ini. Gue…nggak bisa balik sama Nanda.” Tiba-tiba, aku merasakan ada kelegaan yang luar biasa di dadaku. Kepalaku seperti disiram air es, dan beban di bahuku seperti diangkat oleh perkataannya.
“Ren, please. Sekali lagi gue minta sama elo, jadi pacar gue ya”, Dimas berkata sambil terus menatapku. Aku rasa aku memang harus segera memberikan jawaban atas permintaan Dimas, tapi tidak hari ini. Aku masih harus menata hatiku.

Kuraih tangannya,
“Dim, boleh gue minta waktu lagi? Gue tau gue egois karena meminta hal ini, tapi gue masih harus meyakinkan diri gue sendiri. Gue nggak mau mengulangi kesalahan yang sama.”
Dimas menarik tanganku dan mencium telapaknya,
“Berapa lama lagi gue harus menunggu, Ren? Sehari? Seminggu? Sebulan?”
Aku merasa tanganku seperti disengat listrik ketika Dimas melakukan hal itu. Syit. Aku rindu sentuhannya.
“Secepatnya. Gue akan memberi jawaban secepatnya. Please, Dim?”
Dimas tersenyum lembut,
“Gue tunggu. Oh ya, gue mau ngasih elo sesuatu.”
Aku memandangnya dengan bingung,
“Mau ngasih gue apa?”

Dimas mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya. Sebuah iPod shuffle berwarna putih. Katanya,
“Dari pertama gue bilang gue serius sama elo, gue mikir…apa yang tepat untuk ngegambarin perasaan gue ke elo ya. Setelah nyari-nyari, gue nemuin lagu ini.”
Dia menaruh iPod tersebut di tanganku,
“Dengerin setelah gue pergi nanti ya. Sekarang gue pamit dulu.”
Aku mengangguk. Dimas lalu berdiri, dan melangkah ke pintu kamar. Aku mengikutinya. Sampai di pintu dia berhenti, membalikkan badannya, dan menarik pinggangku ke dalam pelukannya. Wajahnya mendekat ke wajahku, dan bibirnya…aku berpikir dia akan menciumku, tapi ternyata tidak. Dia memindahkan bibirnya ke telingaku, dan berbisik,
“Jangan membuat aku menunggu terlalu lama, Narendra…”.
Lagi-lagi telingaku menjadi panas dan badanku gemetar karena bisikannya. Aku menutup telingaku dengan tangan. Dimas tersenyum lalu mencium pipiku,
“Bye, Naren.”
“Bye.”
Aku menutup dan mengunci pintu. Badanku merosot ke lantai karena lemas.

Tanganku masih menggenggam iPod yang diberikan Dimas. Aku bangun, menuju ke meja belajarku, dan duduk di kursi. Kupasang earphone di telingaku, dan aku tekan tombol play. Terdengar suara gemerisik, dan lalu terdengar suara rendah Dimas.
“Hello there, Narendra. Gue nggak pinter ngerangkai kata-kata yang puitis buat orang yang gue sayang. Yang gue inget ada satu lagu lama, yang kata-katanya pas banget sama perasaan gue buat elo. Mungkin elo nggak akrab dengan lagu ini, secara elo dengerinnya lagu berbahasa Jepang terus. Lagu ini judulnya Endlessly, yang nyanyi Muse. Please, googling liriknya ya. Bye.”
Aku tersenyum mendengar pesan yang sama sekali tidak romantis ini. Aku meraih hpku dan segera mencari lirik lagu yang Dimas katakan tadi. Suara musik mulai mengalun di telingaku. Ketika om google sudah menemukannya, aku mulai membaca satu per satu barisan liriknya.

There’s a part of me you’ll never know
The only thing I’ll never show

Hopelessly I’ll love you endlessly
Hopelessly I’ll give you everything
But I won’t give you up
I won’t let you down
And I won’t leave you falling
If the moment ever comes

It’s plain to see it’s trying to speak
Cherished dreams forever asleep
Hopelessly I’ll love you endlessly
Hopelessly I’ll give you everything
But I won’t give you up
I won’t let you down
And I won’t leave you falling
If the moment ever comes

Hopelessly I’ll love you endlessly
Hopelessly I’ll give you everything
But I won’t give you up
I won’t let you down
And I won’t leave you falling
But the moment never comes

Aku menutup wajahku dengan kedua tangan. Kalau ada pintu ajaib Doraemon, aku ingin segera menariknya kembali ke kamarku. Sekarang juga. Syit.

-bersambung-

Have a nice day,

Natsu

Narendra dan Dimas bagian 7

Jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 9 malam ketika aku sampai di parkiran Queer. Semoga Naren belum sampai, karena aku tidak ingin membuatnya menunggu. Aku segera masuk ke dalam, dan karena ini Sabtu malam, suasana di dalam cukup ramai dibandingkan kemarin. Di meja bar ada sepasang cowok yang sedang mengobrol, sementara di sudut sana aku melihat Haru sedang duduk sendirian. Aku mendekatinya,
“Hey Haru…”
“Oh, hey. Kamu rupanya, Dimas. Mana Naren?”
“Masih kerja. Aku janjian sama dia di sini. Dia mau ke sini begitu selesai kerja.”
Haru mengernyit,
“Janjian? Tumben banget dia begitu. Dia jarang lho, bikin janji sama orang. Suka-suka dia aja.”
Aku nyengir,
“Sebenarnya nggak janjian sih, dia bilang mau mampir sini sepulang kerja. Terserah aku, mau nyusul ke sini atau nggak. Kalau aku mau pulang bareng dia, aku harus datang ke sini.”
Haru tertawa,
“Naren banget kalau begitu sih.”
Dalam hatiku aku menggumam, seberapa jauh Haru mengenal Naren? Apakah mereka dulu pernah berhubungan? Karena meskipun aku sudah kenal Naren 2 tahun ini, aku belum banyak mengetahui tentang Naren, terutama masa lalunya.

Eric mendekati kami berdua dan menyapaku,
“Halo Dimas, mau minum apa?”
“Boleh aku minta bir aja, ‘Ric?”
“Boleh. Tunggu sebentar ya.”
Aku memainkan kunci motorku. Kalau nggak ada Naren, aku nggak tahu harus ngobrol apa dengan Haru. Hanya aku merasa, aku harus menanyakan sesuatu kepada Haru.
“Uhm…Haru, sudah berapa lama kenal dengan Naren?”
Haru memandangku,
“Hmm, kenapa kamu tanya begitu? Kamu penasaran? Kenapa nggak tanya ke Naren aja?”
Aku menunduk, tanganku menikmati dinginnya gelas bir yang baru saja diletakkan Eric di depanku,
“Kalau aku tanya ke Naren, dia pasti nggak akan mau menjawabku.”
Haru menyesap gelas birnya,
“Uhm, iya juga sih. Well, aku kenal Naren sejak dia kerja sambilan di sini. Awal-awal kuliah kayaknya.”

Aku menatapnya,
“Dia pernah kerja sambilan di sini?”
Haru mengangguk. Aku melanjutkan pertanyaanku,
“Kalian berdua, sebenarnya apa hubungan kalian? Maaf, aku penasaran.”
Haru hanya tertawa mendengarku,
“Yakin mau dengar?”
Aku mengangguk. Haru meneruskan ceritanya,
“Dulu kami sempat berpacaran, tapi nggak lama. Sekarang, aku hanya mantan pacarnya, yang kadang…bersenang-senang dengannya. Hubungan kami sebatas hubungan fisik.”
Benar dugaanku, Haru pernah mempunyai hubungan yang spesial dengan Naren. Haru melanjutkan perkataannya,
“Jangan khawatir, aku sudah lama tidak melakukannya dengan Naren. Aku bisa melihatnya menyukaimu, Dimas. Hanya mungkin, kenyataan bahwa kamu adalah cowok straight, membuat dia belum berani melangkah lebih jauh bersamamu.”
Aku hanya memandangi gelasku,
“Dia bilang dia hanya mau kencan dengan cowok gay. Aku ingin tahu alasannya, tapi dia sama sekali tidak mau memberikan alasannya kepadaku. Apa kau tahu, Haru?”
Haru tersenyum,
“Semua orang mempunyai tipe masing-masing, kan? Hubunganku dengan cowok straight dan biseksual juga tidak terlalu bagus.”

Haru meminta tambahan minuman kepada Eric, lalu melanjutkan berbicara,
“Aku hanya menceritakan ini kepadamu. Narendra, dulu pernah berhubungan serius dengan seorang cowok yang lebih tua. Lalu orang itu meninggalkannya demi seorang perempuan. Sepertinya hal itu membuat Naren trauma dan tidak mau berhubungan lagi dengan cowok straight.”
Aku memandang Haru, yang menatap gelasnya dengan tekun. Lalu Haru berbicara lagi,
“Bisa dibilang orang itu adalah cinta pertama Naren. Buat Naren, orang itu adalah segalanya. Dia benar-benar jatuh cinta kepada orang itu. Setelah mereka putus, Naren hanya mau berhubungan dengan cowok gay. Yah, kamu mungkin tidak akan mengerti mengenai sakitnya ditinggalkan cinta pertama.”
Aku terdiam. Dadaku terasa sesak. Perkataan Haru ada benarnya. Selama ini aku berhubungan dengan beberapa cewek, tidak pernah sekalipun aku yang meminta mereka jadi pacarku. Selalu mereka yang memintaku duluan. Dengan kata lain, aku belum pernah merasakan benar-benar jatuh cinta kepada seseorang. Baru kali ini aku merasakan sesak karena cinta. Aku berdiri,
“Aku mau cari angin dulu.”

Sampai di luar, aku tertegun memandang dua orang yang sedang berbicara di parkiran mobil. Ah, itu Naren. Dia benar-benar datang ke sini. Tunggu, siapa yang bersamanya? Kenapa dia mengelus-elus kepala Naren? Lalu cowok itu melambaikan tangannya kepada Naren, sepertinya berpamitan. Aku terkejut memandang wajah Naren, karena wajahnya yang memandang cowok tadi terlihat sedih, seakan tidak mau ditinggalkan. Cowok itu berjalan ke arahku, arah pintu masuk Queer, lalu dia masuk ke dalam. Aku berjalan mendekati Naren dan menyapanya,
“Naren?”
Dia terkejut lalu memandangku,
“Dimas? Elo ngagetin gue.””
“Siapa orang tadi, ‘Ren?”
Dia tersenyum,
“Oh, dia. Dia yang punya Queer. Elo ngapain di sini?”
“Nungguin elo. Sesuai kata elo kan, terserah gue mau nunggu elo di sini atau nggak.”
Dia tertawa terbahak-bahak. How I love his laughter. Lalu dia berkata,
“Baguslah. Gue laper banget, mau cari makan. Mau ikut gue?”
Aku ditanya seperti itu, pasti kujawab,
“Gue ikut. Terserah gue kan?”
Lagi-lagi dia tertawa. Membuatku bertanya-tanya, dia yang tadi terlihat sedih dengan dia yang sekarang tertawa karena jawabanku, manakah Narendra yang sebenarnya?

Aku masih berkutat dengan pikiranku, ketika Naren berkata,
“Nggak ada makanan yang enak dan bikin kenyang di Queer. Kita cari makan di tempat lain aja.”
Aku berbalik hendak masuk lagi ke Queer,
“Tunggu sebentar, gue belum bayar minuman gue di dalem.”
Tiba-tiba tangannya menarik lengan bajuku,
“Lain kali aja elo bayarnya, nanti gue bilangin ke Eric.”
Aku terkejut dan hanya bisa memandang wajahnya yang tiba-tiba kelihatan sedih lagi. Dia berkata lagi,
“Elo parkir di mana?”
Aku menunjuk ke arah motorku diparkir, dan dia pun berjalan ke sana. Aku menyusul di belakangnya. Tiba-tiba aku mempunyai perasaan kalau orang tadi adalah cinta dan pacar pertama Narendra.

***

Narendra

Sekali lagi, aku membonceng di motor Dimas. Kalau dipikir kembali, sejak aku membiarkannya melakukan apa saja, sudah berapa kali aku mengikuti kemauan Dimas. Aku sendiri tidak tahu, kenapa aku membiarkannya melakukan apa yang dia mau. Aku yang nggak ingin terlibat lebih jauh dengan Dimas, kenapa sekarang sepertinya makin dekat? Semakin aku berusaha menjauh dari Dimas, semakin dia mendekatiku. Ini bener-bener nggak bagus.

Aku masih tenggelam di dalam pikiranku, ketika tiba-tiba motor Dimas berbelok ke Sierra dan akhirnya berhenti di parkiran. Aku turun dari motor dan melepaskan helmku,
“Kita makan di sini?”
Dimas menjawab sambil melepaskan helm dan mengunci motornya,
“Yap. Gue kangen masakan pastanya.”
Kami berdua memasuki Sierra dan disambut oleh greeter. Untung masih ada meja yang kosong, karena biasanya Sierra penuh kalau Sabtu malam begini. Begitu pelayan selesai mencatat pesanan makanan kami, dia langsung berkata,
“Ren…orang tadi, elo bilang dia yang punya Queer, apa dia gay juga?”
Aku memainkan nomor meja Sierra, dengan suara pelan kujawab pertanyaannya,
“Nggak. Dia bi. Dia udah nikah. Oh, selain Queer dia juga punya beberapa bar lain, yang normal.”
Dimas memandangku,
“Keren juga, udah punya beberapa bar. Kayaknya dia keliatan masih muda banget.”
“Nggak juga, dia jauh lebih tua daripada kita berdua.”
Dimas hanya tersenyum,
“Heeeh…gitu ya?”
Aku terkejut sendiri mendengar reaksi Dimas. Tunggu. Kenapa aku jadi ngoceh banyak tentang Reza kepada Dimas? Syit. Goblok kok dipelihara sih, Ren. Aku mengutuk diriku sendiri.

“Ren…Naren? Elo nggak pa-pa?”, suara Dimas memanggilku dengan lembut. Pelayan sudah menaruh makanan yang kami pesan. Aku gelagapan menjawabnya,
“I…iya, gue nggak apa-apa.”
Aku mulai makan sambil terus larut dalam pikiranku. Sebenarnya aku sama sekali tidak ingin Dimas bertemu dengan orang-orang dari masa laluku, seperti Haru atau Reza, tapi entah kenapa kami seperti selalu dipertemukan. Tuhan seperti ingin menunjukkan kepada Dimas, sisi seorang Narendra yang tidak diketahuinya. Aku menghela napas panjang. Arggh, aku ingin cepat pulang. Aku benar-benar ingin sendirian saat ini.
“Ren, jangan bengong. Cepetan abisin makanannya, abis ini kita pulang”, Dimas tiba-tiba berkata begitu sambil menyentuh tanganku. Aku tersenyum, apa Dimas bisa membaca pikiranku ya? Dimas, Dimas yang sangat aku sayangi, sampai kapan kamu akan bertahan menghadapi aku yang egois ini? Aku ingin sekali bersamamu, tapi…kenyataan kalau kamu sama dengan Reza, membuatku takut. Takut kalau suatu hari nanti kamu akan meninggalkanku, dan membuatku tenggelam lagi dalam kesedihan yang sama.
“Narendra…”, suara Dimas terdengar lagi, kali ini ada nada khawatir di dalamnya.
“Oh…eh…gue ngabisin ini dulu. Sebentar”, aku segera menghabiskan sisa makananku di piring dan meminum jus jeruk pesananku. Selesai aku makan, aku berdiri dan hendak menuju ke kasir, tapi Dimas mencegahku,
“Gue yang bayar.”
Aku hanya mengangguk.

Di area parkir motor Sierra yang terang benderang masih banyak tamu yang ngobrol, kebanyakan juga anak kuliahan seperti kami berdua, yang tidak pernah puas ngobrol di dalam. Tiba-tiba saja, keisenganku muncul kembali,
“Dim…di tempat rame begini, elo bisa nyium gue?”
Wajahnya terkejut, tapi dengan cepat berubah kalem lagi,
“Gue bisa.”
Aku tertawa,
“Cepet banget jawaban elo.”
“Elo nggak percaya sama gue?”
“Nggak kok, nggak. Bukan gitu. Kalau gue…gue nggak bisa ngelakuin hal itu. Ciuman di tempat yang rame kayak begini.”
Dimas memandangku dengan tajam,
“Menurut gue sih, ciuman nggak ada hubungannya sama tempat.”
Aku terkejut mendengarnya,
“Eh? Maksud elo?”
Dimas lalu berbisik di telingaku,
“Well, jujur…gue pengin nyium elo lagi, gue pengin bisa menggenggam tangan elo, gue pengin bisa nyentuh elo sampai puas. Gue rasa gue udah gila karena harus nahan ini semua. Sekali elo bilang iya, gue pasti akan melakukan itu semua.”

Suara berbisik Dimas membuat telingaku terasa panas. Panas karena mendengar suara rendahnya, juga panas karena aku ingin juga menciumnya, menyentuhnya, menggenggam tangannya. Seperti di kamarku waktu itu. Hanya lagi-lagi, tembok keegoisanku menghalangiku.
“Nggak bisa. Emang kita nggak mikirin orang di sekitar kita?”
Dimas mendengus, wajahnya berubah serius,
“Palingan mereka lihat kita, terus mereka pikir kita lagi mabok. Abis itu paling kita diseret ke kantor polisi karena membuat keributan di depan umum. Udah yuk, kita pulang.”
Aku tidak bisa menahan tawaku melihat wajah seriusnya, yang disambut dengan semprotannya,
“Kenapa elo malah ketawa, Ren?”
Aku tersenyum,
“Gue paling suka wajah serius elo, Dim.”
Wajah Dimas memerah dan dia hanya bisa bereaksi,
“Eh? Apa, Ren?”
Syit. Aku tidak menduga kalau dia akan bereaksi seperti itu, dengan wajah yang memerah pula. Beneran. Ini nggak bagus buat kesehatan jantung.
“Nggak. Nggak apa-apa. Ayuk, pulang”, kataku sambil meraih helmku. Dimas menyalakan mesin motornya, aku pun segera naik ke motor.

Dalam perjalanan aku terus berpikir, seharusnya aku tidak perlu mengisengi Dimas seperti tadi. Ini seperti bumerang, efek yang ditimbulkan berbalik kepadaku. Melihatnya seperti itu, reaksi yang beneran sangat cute. Aku sungguh ingin mengatakan aku suka kepadanya, hanya aku benar-benar tidak berani melangkah melewati tembok itu. Dammit. Aku ingin tenggelam dalam musik kesukaanku. Secepatnya. Dan Dimas bagai bisa mengerti pikiranku, karena dia memacu motornya dengan kecepatan tinggi sampai akhirnya kami sampai di kos-kosan.

Dimas sedang merapikan letak motornya, ketika mang Eeng, penjaga kos-kosan kami menghampiri Dimas dan berkata,
“Nak Dimas, ada tamu yang cari nak Dimas itu. Lagi nunggu di ruang tamu.”
Aku memandang Dimas yang mengernyit bingung, lalu dia bertanya,
“Siapa mang? Kayaknya saya nggak ada janjian ketemu orang hari ini.”
Mang Eeng dengan cepat menjawab,
“Namanya mbak Nanda. Dia bilang sudah coba hubungin hp nak Dimas, tapi nggak diangkat.”
Nanda? Sepertinya aku pernah mendengar nama itu? Di mana? Siapa yang menyebut namanya? Dan aku terkejut karena Dimas segera berlari ke arah ruang tamu. Aku ikut berlari menyusulnya. Di pintu ruang tamu langkah Dimas terhenti. Aku berhenti di samping Dimas, dan melihat seorang perempuan berambut panjang, sangat cantik, sepertinya seumuran dengan kami, duduk menunggu di ruang tamu. Aku memperhatikan Dimas, wajahnya berubah kaku. Dia bertanya dengan suara tercekat,
“Nanda?”

-bersambung-

Have a nice day,

Natsu

Narendra dan Dimas bagian 6

Hampir dua minggu berlalu sejak malam aku tidur bersama Naren. Bisa dibilang setelah malam itu, nggak ada kemajuan dalam hubungan kami. Maksudku, aku sudah bilang suka ke Naren tapi dia belum memberiku jawabannya. Meskipun begitu, perlakuan Naren kepadaku tidak berubah. Aku sudah khawatir dia akan menjauhiku setelah malam itu. Untungnya dia tetap seperti biasa. Tetap ngobrol denganku, atau mengizinkan aku goler-goler di kamarnya sambil membaca komik. Iya, iya, aku digantung. Puas kalian?

Seperti malam ini, aku sedang asyik membaca salah satu komiknya ketika sebuah tendangan mendarat di pahaku,
“Heh, balik ke kamar sana, Dim. Elo kan, punya kamar sendiri.”
Tanpa mengalihkan pandanganku dari komik,
“Di kamar gue nggak ada komiknya.”
“Ya bawa aja ke sana.”
“Gue males bolak-balik kalau mau baca terusannya.”
Setumpuk komik lalu mendarat di perutku,
“Nih. Bawa semua ke kamar elo.”
“Elo kenapa sih, ‘Ren? Gue nggak boleh di sini?”
Dia menghela napas,
“Boleh, tapi gue mau keluar.”

Heh? Dia mau keluar? Mau ke mana? Apa dia mau ketemu sama cowok itu lagi?
“Emang elo mau ke mana, Ren?”
Dia memandangku dengan wajah dingin,
“Gue mau kumpul sama temen-temen gue. Di bar.”
Bar?
“Gay bar?”
“Yap. Kenapa? Mau ikut?”
“Gue ikut.”
Dia terlihat kaget mendengar jawabanku.
“Dim, elo serius?”
Aku bangun dari karpet tempat aku berbaring. Kusentuh pipinya sekilas,
“Gue serius. Tungguin gue. Gue mau ganti baju sama ambil kunci motor. Pake motor gue aja.”

Aku mengganti t-shirt dan celana pendekku dengan kemeja dan celana jeans. Kusambar jaket, kunci motor dan helmku, lalu kembali mengetuk pintu kamar Naren. Dia membuka pintu kamarnya, dan aku terpana. Sumpah. Dia keliatan cool, ganteng, sekaligus indah (aku nggak mau bilang dia cantik). Rambutnya dikuncir. Dia memakai kemeja dan celana yang pas dengan tubuhnya. Aku terpana.
Naren menepuk pundakku,
“Woy, jadi ikutan nggak? Kalau nggak, gue pergi sendiri.”
“Jadi…jadi…ayo”, aku mengacungkan kunci motorku.
Kami menuju halaman tempat semua motor penghuni kosan diparkir. Naren menuju Vespanya, mengambil helm, dan kembali ke motorku. Tidak lama kemudian kami berdua sudah berboncengan membelah jalan raya Jakarta. Naren menunjukkan jalan yang harus aku lewati, yang sebenarnya tidak asing bagiku. Hanya aku samasekali tidak menduga ada sebuah bar di situ. Kami masuk ke semacam komplek ruko, lalu parkir di depan bar yang dimaksud Naren.

Aku membaca bar sign yang terletak di atas pintu masuk berkaca gelap, dengan aksen kusen kayu yang cantik, tertulis di sana “Queer”. Nama yang menarik. Naren mendorong pintu masuknya, dan mengajak aku untuk masuk. Di dalam bar, suasananya tidak terlalu ramai. Di meja bar, hanya ada seorang cowok yang dari tempatku sekarang, hanya terlihat punggungnya. Naren menghampirinya, dan menepuk pundaknya,
“Haru…apa kabar?”
Syit. Dia cowok yang waktu malam itu mengantar Naren. Haru memutar badannya menghadap Naren dan aku, tersenyum,
“Hey…Naren, lama nggak ketemu”, lalu mencium kedua pipi Naren. What the hell? Aku cemberut.
“Haru, masih ingat dia?” Naren menunjuk ke arahku. Haru tertawa,
“Tentu saja. Halo Dimas, apa kabar?”
Aku tidak ingin menjawab basa-basinya, tapi tentu saja itu tidak sopan. Akhirnya aku mengangguk sambil menjawab,
“Kabar baik, Haru.”

Seorang bartender menghampiri kami dan menyilakan aku untuk menempati kursi yang tersedia. Naren mengenalkan aku kepadanya,
“Dim, kenalin…ini Eric. Bartender di Queer.”
Eric hanya mengangguk, lalu menanyakan aku mau minum apa. Aku tidak tahu apa-apa tentang minuman yang ditawarkan di sebuah bar, jadi aku hanya minta segelas bir. Naren juga meminta yang sama. Aku lalu menempati kursi di samping kanan Haru, sementara Naren duduk di samping kiri Haru, yang kebetulan juga sudut meja bar. Baru aku meletakkan bokongku di kursi, Haru sudah bertanya kepadaku,
“Jadi, Dimas…apakah kalian melakukannya?”
Aku bengong mendengar pertanyaan itu. Dalam hati aku bertanya, apa selalu seperti ini pembicaraan di antara mereka? Eric yang datang membawa dua gelas bir pun tertarik dengan pertanyaan Haru, dan tidak meninggalkan kami. Sepertinya jawabanku ditunggu banyak orang. Aku memandang Naren, wajahnya terlihat panik dan malu, yang membuatku tersenyum.

Lalu aku berkata,
“Hey Naren, boleh aku memberi tahu mereka?”
Aku nyaris tertawa melihat reaksi Naren yang bertambah panik, juga reaksi Haru dan Eric. Di wajah mereka berdua dengan jelas terlihat kesenangan yang luar biasa. Rasanya ada tulisan ‘JADI MEREKA MELAKUKANNYA’ di wajah Haru dan Eric. Naren akhirnya berkata,
“Terus kenapa kalau kami berdua melakukannya? Lagian siapa yang bisa nolak, kalau seorang cowok, yang kebetulan adalah tipeku, bilang kayak gini, ‘elo boleh ngelakuin apa aja ke gue’
Haru tertawa dan menoleh ke arahku,
“Kamu ngomong kayak gitu, Dim?”
Aku meminum birku,
“Yap. Aku ngomong seperti itu ke Naren.”
Haru tersenyum,
“Hmm…kamu berani juga ngomong kayak gitu. Kamu nggak kepikiran, kalau kamu akan jadi bottomnya Naren? Yah, walaupun aslinya Naren itu bottom.”
“Uhm, kepikiran kok. Tapi buatku nggak masalah sih, mau top atau bottom.”

Tiba-tiba Naren berdiri dari kursinya dan berkata kepadaku,
“Eh? Apa ‘Dim? Maksud elo, elo nggak masalah kalau elo jadi bottom?”
Aku mengangguk,
“Yap. Gue udah mikir dan udah siap-siap kok.”
Naren duduk lagi dan menelungkupkan wajahnya ke meja bar, tangannya terkepal dan memukul-mukul meja seraya mengumpat,
“Syit. Syit. Syit.”
Aku bingung,
“Ren, elo kenapa? Gue salah?”
Haru terbahak,
“Tenang aja. Dia cuma bilang kalau dia bodoh, kenapa dia menyia-nyiakan kesempatan sebagai top. Sepertinya begitu kan ‘Ren?”
Naren mengangkat wajahnya,
“Screw you, Haru!”

Aku menatap wajahnya,
“Kalau gitu, lain kali…elo bisa jadi top ke gue.”
Naren balas menatapku,
“Gue kan, udah bilang…nggak akan ada lain kali.”
“Beneran kok. Elo boleh ngelakuin apa aja yang elo mau.”
Naren lalu berkata dengan suara keras,
“Dimas Arya Nugraha, gue nggak akan terbujuk oleh rayuan elo lagi.”
Eric, Haru, dan aku hanya memandangnya. Lalu tiba-tiba dia berdiri, mengeluarkan dompetnya, mengambil uang, dan menaruhnya di meja bar,
“Gue pulang duluan.”
“Eh, tunggu ‘Ren. Kita pulang bareng.”
“Nggak usah. Gue mau naik taksi.”
Naren pun keluar dari bar.

Di meja bar, hanya ada aku dan Haru. Eric yang baru selesai meracik minuman untuk pelanggan lain menghampiri kami berdua, lalu bertanya,
“Hey Dimas, apa yang kamu suka dari Narendra?”
Haru tersenyum,
“Eh iya, aku juga ingin tahu.”
Aku memandang deretan botol-botol minuman keras yang ada di lemari, menghabiskan bir di gelas keduaku, sambil mengusap-usap kepalaku aku menjawab,
“Kalau ditanya begitu, aku sendiri tidak tahu. Perasaan itu muncul dengan sendirinya. Mungkin karena kami bertetangga di kosan yang sama, juga kuliah di jurusan yang sama. Bersama dengan Naren membuatku merasa nyaman. Aku bisa berbicara padanya mengenai banyak hal. Dan…aku sering berpikir, mungkin Naren menyukaiku. Ah bukan, bukan seperti itu. Aku yakin kalau Naren juga menyukaiku, itu yang membuatku suka kepadanya.”

Eric dan Haru hanya tersenyum. Lalu Haru berkata,
“Kalau begitu aku ucapkan selamat berjuang. Anak itu, walaupun sudah ketahuan kalau dia menyukaimu, tidak akan mudah menerimamu sebagai kekasihnya.”
Eric mengangguk,
“Sama dengan Haru, kuucapkan semoga berhasil menaklukkan seorang Narendra.”
Aku hanya tersenyum mendengar perkataan mereka.
“Terima kasih untuk semangatnya. Tenang saja, aku akan terus berusaha menaklukannya.”
Setelah membayar semua minumanku, aku pun keluar dari bar itu.

***

Keesokan harinya, aku bangun lebih pagi dari biasanya. Langsung mandi dan berpakaian. Setelah rapi, aku langsung ke kamar sebelah dan mengetuk pintunya. Naren membuka pintu kamar, wajahnya masih kelihatan mengantuk,
“Eh, elo Dim…tumben amat udah rapi. Mau ke mana?”
Dengan tegas aku menjawab pertanyaannya,
“Temenin gue nonton sama cari buku.”
Naren mengelak,
“Gue belum mandi. Lagian, nanti jam 2 gue harus sampai ke tempat kerja gue. Ada proyek.”
Aku memaksanya,
“Elo mandi sekarang, gue tungguin di parkiran motor. Gue nggak mau denger kata nggak dari elo.”
Naren hanya bisa menghela napas panjang,
“Oke..oke…gue mandi. Tunggu gue.”

Tidak berapa lama kemudian Naren menyusul ke parkiran motor. Helmnya masih terkait di motorku sejak semalam. Aku langsung memakaikan helm di kepalanya dan mengaitkan kuncinya. Tanpa bertanya kami mau ke mana, Naren langsung naik ke boncengan motorku. Aku menjalankan motorku ke sebuah mall yang letaknya tidak terlalu jauh dari kampus kami. Setelah parkir, aku dan Naren segera menuju ke toko buku. Aku mencari buku untuk tugas yang diberikan dosenku, sementara Naren seperti biasa menunggu di bagian komik. Keluar dari toko buku, masing-masing dari kami menenteng sebuah tas belanjaan dan kami pun langsung menuju ke bioskop. Sempat berdebat karena jam tayang pertama adalah jam 12.15 sementara Naren harus sampai ke kantornya jam 2 siang, akhirnya kami tidak jadi nonton. Kami memutuskan untuk makan siang saja.

Selesai makan Naren langsung pamit,
“Dim, gue duluan ya.”
Nggak mungkin aku membiarkannya jalan sendirian,
“Gue anterin ke kantor elo.”
Wajah Naren memerah,
“Ngapain elo nganterin gue segala? Elo nggak percaya kalau gue mau ke kantor?”
“Bukan gitu. Gue cuma pengen bareng elo. Nggak ada salahnya kan, gue nganterin orang yang gue suka?”
Naren terkejut mendengar jawabanku,
“Nggak salah kok. Terserah elo aja kalo gitu.”
Kami berdua pun berjalan ke parkiran motor. Aku berpikir, kalau begitu aku boleh ngelakuin apa aja kan? Hanya saat ini aku lagi-lagi nggak ngerti jalan pikiran Naren. Dia nggak menolakku tapi juga nggak menerimaku. Apa arti kehadiranku buat Naren?

“Dim…Dimas…”, suara Naren mengembalikan aku ke kenyataan. Kami sudah di depan pintu keluar mall menuju parkiran motor.
“Elo lagi mikir apa, Dim? Wajah elo serius banget.”
Aku hanya bisa tersenyum pahit mendengar pertanyaannya,
“Mikirin elo-lah, siapa lagi?”
Dia tertawa,
“Makasih, udah mikirin gue. Terus, tetep mau nganterin gue?”
“Yap”, jawabku,
Setelah dia naik, aku segera memacu motorku ke kantor Naren.

Aku menurunkannya di depan sebuah bangunan bertingkat 4, yang merupakan kantor sebuah agensi iklan yang terkenal. Dia hampir masuk ke dalam kantor, ketika aku memutuskan untuk memanggilnya,
“Narendra!”
Dia berbalik, dan menghampiriku,
“Kenapa Dim? Ada barang gue yang ketinggalan?”
Aku memandangi Naren,
“Nggak ada. Uhm, Ren…elo beneran nggak bisa ngasih kesempatan buat gue?”
Dia terkejut, “Hah?”
“Gue pengen ada di samping elo, Ren.”
Mata Naren terbelalak memandangku,
“Elo ngomong kayak gini juga ke cewek?”, tanyanya.
“Nggak. Gue cuma ngomong kayak gini ke elo.”
Dia terdiam.
Aku berkata lagi, “Jujur, gue nggak tahu apa yang harus gue lakukan buat ngedapetin elo.”
Yang aku tahu adalah kalau aku berpaling darinya, maka aku pasti tidak akan mendapatkan kepercayaannya lagi.

Dia lalu berkata,
“Dimas, elo nggak akan dengerin gue kan, meskipun gue bilang nggak. Sekarang, terserah elo. Gue kayak gini, elo masih pengen ada di samping gue?”
Aku tersenyum memandang Naren,
“Jam berapa elo selesai kerja? Gue jemput ke sini.”
Dia panik,
“Hah? Ngapain? Nggak usah jemput-jemput gue segala. Gue bisa pulang sendiri.”
“Lho, tadi kata elo terserah gue. Ya gue mau jemput elo dong.”
Dia berjalan mundur ke arah kantornya,
“Gue ada di Queer abis kerja. Terserah elo, mau ke sana atau nggak”, membalikkan badannya dan langsung berlari ke dalam. Meninggalkan aku yang terpana sendirian.

Dear God, apa ini artinya dia mulai mengizinkan aku melangkah ke dalam wilayah pribadinya? Apa artinya dia mulai menerimaku? Aku tidak menduga kalau aku masih akan merasakan hal ini, tersiksa karena cinta. Aku bahagia, sekaligus merasa tersiksa.

-bersambung-

Have a nice day!

Natsu

Cinta Satu Malam

Oneshot with original characters.
Pairing : Raditya x Andhika
Rated : NC17
Note : ini bukan fanfiction. Ini hasil renungan Natsu di kereta, gara-gara Natsu harus duduk manis di samping ibuknya, sementara ada cowok ganteng duduk di samping bapaknya. Selamat menikmati.

Sabtu pagi. Aku melirik jam di pergelangan tanganku, anjrit…15 menit menjelang jam 7, dan aku masih di Bunderan HI. Dengan panik aku meminta supir taxi untuk mempercepat laju kendaraannya,
“Pak, ngebut ke Gambir dong. Kereta saya jam 7.15 nih…ya pak, pliiiiis.”
Dengan santainya pak supir menjawab,
“Lha…masnya tadi nggak ngomong keretanya jam 7”, dan langsung menginjak pedal gas, menjalankan kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Bahkan larangan belok kanan di bunderan dekat Monas pun diterobosnya, aku hanya berdoa semoga tidak ada polisi yang menilang kami. Huuuuft, save. Taksiku pun sampai dengan selamat di drop zone stasiun Gambir tepat jam 7. Aku segera membayarnya tanpa meminta uang kembalian, turun, dan menurunkan ranselku dari bagasi. Tentu saja aku tidak lupa mengucapkan terima kasih.

Syit. Aku kan, masih harus mencetak tiket. Setengah berlari aku menghampiri mesin cetak tiket, memasukkan kode booking, dan memperhatikannya dicetak. Done. Aku berlari lagi menuju pintu masuk. Petugas peron yang memeriksa tiket dan KTPku memintaku untuk segera naik ke jalur 1 karena sudah jam 7 lewat 10. Nggak usah diminta aku juga bakal lari. Dua eskalator kulewati dengan berlari, dan akhirnya aku tiba juga di jalur 1. Gerbong 3 mana, gerbong 3? Hup, ini dia. Aku segera melompat memasuki pintu gerbong. Kepala stasiun sudah berkoar-koar mengumumkan bahwa kereta akan berangkat. Ini semua karena aku tidur terlalu malam, sehingga aku bangun kesiangan.

It’s okay, yang penting aku sudah di dalam gerbong dan tinggal mencari kursiku. Kemarin aku memilih kursi nomor 6A, dekat jendela. Ketika aku sampai di nomor kursiku, seorang cowok rupanya sudah menempati kursi dekat jendela. Aku tidak ingin berdebat, hanya rasanya nggak bener banget, udah pilih nomor kursi tapi tetap diduduki orang lain. Percuma dong. Setuju nggak?
“Maaf mas, nomor kursi saya 6A. Harusnya saya yang duduk di situ.”
Dia mengangkat wajahnya, yang langsung disambut teriakan dalam hatiku, buseeet…ini cowok ganteng amat. Ganteng-ganteng Sunda gitu. Kulit wajahnya putih, meskipun ada sedikit bekas jerawat tapi tetap terlihat bersih. Jejak kumis yang baru dicukur terlihat di sana. Dia terlihat kaget, dan meminta maaf,
“Oh ya. Maaf, saya pikir kosong.”
Dia segera berdiri dan bergeser keluar. Aku menaruh ranselku di atas dan segera duduk di kursiku. Kereta sudah mulai berjalan sekarang.

Eh, belum kenal siapa aku ya? Namaku Raditya. Aku bekerja di sebuah majalah remaja terkenal di ibukota sebagai reporter. Sekarang aku harus tugas ke Semarang, meliput konser sebuah idol group cewek yang popularitasnya lagi meroket. Konsernya sih, hari Minggu besok tapi Sabtu ini mereka mengadakan meet n greet dan itu harus diliput juga. Sebenarnya aku malas meliput artis cewek, karena aku nggak suka cewek. Eh tapi, idol group ini kan, banyak penggemar cowoknya ya? Siapa tahu, ada yang bening, ganteng, dan enak dilihat gitu. You wish. Sebentar, nggak usah jauh-jauh, di sebelahku juga ada yang bening nih. Hehehe…

Aku memperhatikan dia yang sedang memainkan iPhonenya. Kepalanya tertunduk dan rambut depannya yang agak panjang jatuh menutupi dahinya. Ha, he is cute. Very cute. Kondektur yang memeriksa tiket sampai di kursi kami, dan menanyakan di mana kami akan turun. Dia menjawab turun di Semarang. Yes, tujuan kami sama. Aku pun menjawab turun di Semarang juga. Duh, aku nggak tahan, pengin ngajak ngobrol.

“Halo…turunnya di Semarang juga?”
Dia celingukan, menurunkan iPhonenya, dan menunjuk dirinya,
“Saya?”
Iya, siapa lagi? Kamu pikir ada yang lain, yang duduk di sampingku? (-_-#)
“Iya. Kamu.”
“Oh iya. Saya turun di Semarang. Anda juga?”
Buseet, bahasanya sopan begini. Kayaknya orang kaya nih, keliatan dari baju  yang dipakainya sih.
“Nggak usah terlalu formal pakai saya dan anda. Aku-kamu juga nggak pa-pa, kayaknya kita seumuran. Iya, aku turun di Semarang. Oh, namaku Raditya, panggil aja Radit. Kamu?” aku mengulurkan tanganku. Dia balas mengulurkan tangannya, lalu menjabat tanganku dengan ragu-ragu, “Andhika. Dhika juga boleh.”

“Tugas ke Semarang?”, aku mulai kepo. Boleh dong kepo, cowok kayak dia sayang banget kalau nggak dikorek informasinya. Dia tertawa,
“Yaaah…begitu deh. Kamu sendiri?”
“Ada tugas liputan konser idol group di Semarang. Pernah denger JKT49?”
Aku memperhatikannya, kenapa wajahnya memerah?
“Cuma dengar namanya. Belum pernah dengar lagunya”, jawabnya.
“Aku baru kali ini meliput mereka. Suka dengan lagu-lagunya, tapi belum kenal banget dengan orang-orangnya. Jadi belajar dulu deh, sampai telat bangun”, kataku sambil mengusap-usap kepala.
Dia tersenyum,
“Kamu banyak bicara ya?”
Aku nyengir,
“Banyak yang bilang begitu sih. Jadi reporter kalau nggak banyak ngobrol, nanti nggak dapet berita.”
Dia tertawa. Tawanya khas, enak didengar.

Setelah itu, kami terlibat pembicaraan yang cukup seru, walaupun aku yang lebih banyak bercerita. Dia cerita kalau dia memang banyak jalan ke luar Jakarta untuk ketemu klien bisnis. Aku sendiri lebih banyak cerita tentang suka-duka melakukan liputan, apalagi liputan mengenai orang-orang dunia hiburan. Setelah makan siang, dia pamit tidak mengobrol dulu karena harus memantau pekerjaannya. Aku tidak keberatan, karena aku juga ingin tidur karena mengantuk. Ketika aku terbangun, kereta sudah memasuki kota Semarang dan hampir tiba di stasiun Tawang. Aku melihat Dhika sedang memasukkan laptop ke dalam tasnya. Kereta akhirnya berhenti di stasiun, Dhika mengulurkan tangannya,
“Aku duluan ya, Radit. Senang ketemu dan ngobrol denganmu.”
Aku menyambut tangannya,
“Sama-sama.”
Dia pun berlalu, dan aku baru ingat kenapa aku tidak bertukar kartu nama dengannya? Ah…sudahlah.

***

Sabtu sore. Setelah aku check-in di hotel yang sudah ditentukan kantor, aku bergegas menuju aula tempat mereka mengadakan meet n greet. Sebelum acara dimulai, semua reporter harus melapor dulu ke event organizernya. Aku bertemu dengan Herman dari EO Sunshine dan Rangga, manajer tur JKT49. Selesai urusan administrasi, aku memasuki aula dan tidak berapa lama acara meet n greet dimulai. Yah, cewek-cewek remaja ini memang cantik semua, tapi buat aku…fans cowok mereka yang hadir di meet n greet ini juga banyak yang enak dilihat. Sekali tepuk, dua lalat kena nih. Hehehe…

Selesai acara meet n greet, aku kembali ke kamar dan mulai menulis laporanku. Banyak interaksi antara JKT49 dan fans mereka yang bisa kutuangkan dalam bentuk tulisan dan foto. Jarum jam sudah menunjuk di angka 10 ketika laporanku selesai kutulis dan kukirim ke editorku lewat email. Aku ingin keluar hotel untuk mencari makan, tapi aku agak malas. Akhirnya kuputuskan untuk turun ke bar, karena restoran pasti sudah tidak melayani pesanan. Aku mau minum saja.

Di meja bar, aku memilih duduk di sudut meja, di mana aku bisa menikmati minumanku sambil mengamati pengunjung yang datang. Tiba-tiba mataku menangkap sosok yang rasanya aku kenal. Oh, Rangga. Si manajer tur yang tadi sore kutemui. Dia datang bersama seorang cowok yang…hah? Tunggu, bukannya itu Dhika? Aku menggosok-gosok kedua mataku, siapa tahu aku salah lihat. Ternyata tidak. Itu beneran Andhika, yang tadi siang mengobrol bersamaku di kereta.

Aku memperhatikan mereka berdua, secara diam-diam. Keduanya tidak menyadari kehadiranku di sana. Mereka berbicara dan menikmati minumannya. Lalu tiba-tiba Rangga mendekatkan wajahnya ke wajah Dhika, mencium bibirnya sekilas. Hah? Cium? Walaupun aku juga sering mencium teman kencanku (cowok juga), aku masih kaget juga kalau melihat sesama cowok berciuman, apalagi kalau aku mengenal keduanya. Ketika akhirnya aku melihat mereka berdua saling berpegangan tangan, aku jadi bertanya-tanya, apa hubungan antara mereka berdua? Sahabat (nggak mungkin), pacaran (entahlah), atau hanya sekedar teman kencan? Dalam hatiku, aku senang sekaligus sedih. Senang karena tahu Dhika suka dengan cowok juga, sedih karena tahu dia bersama Rangga. Akhirnya mereka berdua meninggalkan bar, sambil bergandengan tangan. Aku pun memutuskan untuk membayar minumanku dan berlalu dari situ.

Di kamar aku tidak bisa tidur. Aku penasaran dengan Andhika, dan mencoba mencari informasinya di internet. Hasilnya tentu saja mengecewakan, nama Andhika banyak dan tidak ada info yang spesifik tentangnya. Aku coba memasukkan keyword ‘Andhika + gay’ juga tidak menghasilkan apa-apa. Harus tanya ke mana? Lalu aku teringat kepada Eric, bartender di bar Queer yang biasa aku kunjungi di Jakarta. Bartender biasanya kenal dengan pelanggannya, atau kalau nggak kenal nama biasanya ingat ciri fisiknya. Sudah jam 3 pagi, Eric pasti sudah selesai bertugas. Kuambil hpku dan mencoba meneleponnya.

Tuuut…tuuut…tuuut…
“Ya ‘Dit, ngapain kamu nelpon jam segini?”
“Sorry ‘Ric, gue butuh informasi penting.”
“Informasi apaan? Tumben?”
“Elo pernah denger nama Andhika? Orangnya (aku menyebutkan ciri-ciri fisik Andhika yang masih kuingat).”
“Hmmm…kalau orang dengan ciri fisik yang kamu sebutin itu, aku tahu. Cuma namanya bukan Andhika. Kalau nggak salah, namanya Alex.”
“Alex? Elo serius ‘Ric? Bener nggak nih, kita ngomongin orang yang sama?”
“Harusnya sih, sama. Kalau kamu nggak salah nyebutin ciri-cirinya ya.”
“Kalau ketawa gini ‘Ric (aku menirukan tawa Andhika yang khas, walau nggak mirip).”
Di ujung sana Eric tertawa keras,
“Hahaha…iya itu bener dia, dodol. Cuma…Alex ituuuu, gimana ya ngomongnya?”
“Apaan ‘Ric? Ngomong cepetan..”
“Dia…teman kencan yang bisa dibayar, dan udah terkenal dengan servisnya yang jempol. Kliennya di mana-mana.”
Aku ternganga mendengar penjelasan Eric.
“Halo…Radit, kamu masih online?”
Aku menjawab dengan gugup,
“I…iya…gue masih online.”
“Kamu kenapa? Tiba-tiba nanya tentang Alex? Kamu suka dia?”
“Nggak…nggak apa-apa, cuma penasaran. Nanti gue ceritain kalau udah balik Jakarta. Thank you infonya ‘Ric. Gue offline ya. Bye.”
Klik.

Aku percaya dengan keterangan dari Eric, tapi aku masih penasaran. Beneran nggak, Andhika dan Alex orang yang sama. Aku memutuskan untuk mencari di internet lagi, kali ini keywordnya ‘Alex + teman kencan berbayar’. Hasil yang keluar membuatku nyaris berteriak kaget, karena aku mengenali wajah yang ada di foto-foto tersebut. Ya, itu foto-foto Andhika. Syukurlah, fotonya pose wajar semua, tidak ada yang aneh. Lalu aku mencari nomor kontak atau email untuk menghubunginya, tidak ada. Sepertinya dia eksklusif, hanya orang tertentu yang bisa mendapatkan nomor kontaknya. Dan aku pun bertanya dalam hati, apakah Rangga termasuk kliennya? Aku menghela napas dan menutup wajahku dengan tangan, harusnya aku tidak usah mencarinya atau bertanya kepada Eric. Syit. Aku harus tidur, siang nanti masih ada pekerjaan liputan jalan-jalan sekitar Semarang dan liputan konser di malam hari.

Aku baru bisa tidur jam 4.30 dan bangun jam 8 dengan kepala sakit. Langsung kuguyur badanku dengan air shower dan aku merasa sakit kepalaku agak berkurang setelah mandi. Aku memutuskan untuk sarapan di restoran hotel dan langsung berangkat putar-putar kota. Spot-spot yang ingin aku liput sudah kusiapkan di aplikasi itinerari di hpku, demikian juga dengan peta jalan yang harus aku lalui. Selesai sarapan aku ke melapor ke resepsionis untuk menitipkan kunci kamar dan konfirmasi penyewaan motor. Tidak berapa lama akupun sudah melaju di atas sepeda motor, membelah kota Semarang yang sekarang ramai sekali.

***

Minggu sore. Semua spot yang ingin aku masukkan dalam laporanku sudah aku kunjungi. Sekarang aku menuju ke spot terakhir hari ini, yaitu arena konser JKT49. Sampai di arena konser sekitar jam 3 sore dan fans mereka yang banyak banget itu sudah mengantri di depan pintu gerbang yang baru akan dibuka jam 5. Luar biasa. Aku segera memarkir motorku di tempat parkir, yang itu pun sudah harus berjalan agak jauh dari area konser. Kembali ke arena, aku segera melapor ke sekuriti konser dan menunjukkan pass reporter yang kudapat dari Herman dan Rangga. Ha, enaknya jadi reporter adalah aku bisa masuk duluan ke dalam hall, dan dapat tempat duduk khusus untuk reporter. Ooops…area kumpul reporter juga ternyata sudah penuh, aku segera bergabung dengan mereka.

Hampir jam 9 ketika akhirnya konser selesai. Aku baru bisa keluar dari arena sekitar jam 10. Perutku lapar, aku memutuskan untuk makan dulu di warung kaki lima pinggir jalan dan baru pulang ke hotel setelah perutku terisi. Sampai hotel jam 12 kurang, aku segera mengembalikan kunci motor ke resepsionis dan membayar sewanya. Aku ingin minum dulu sebelum menulis laporanku.

Sampai di meja bar aku segera memesan segelas minuman kepada bartender. Sambil menunggu, aku mengedarkan pandanganku ke seluruh area bar. Mataku tertumbuk pada sosok di samping kananku, yang terpisah sekitar 4 kursi dariku. Andhika? Dia sendirian, melamun memandangi gelas minumannya. Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas dari samping, tapi aku tahu itu dia. Begitu minumanku datang, aku segera mengambilnya dan pindah ke kursi tepat di samping Andhika.
“Selamat malam, eh…pagi. Kita ketemu lagi, Andhika.”

Dia menoleh ke arahku, wajahnya kelihatan kaget. Aku tersenyum,
“Masih ingat aku? Yang di kereta kemarin siang?”
Dia balas tersenyum,
“Aaaah…Raditya?”
“Fiuh, kupikir kamu sudah lupa.”
Dia nyengir,
“Orang yang banyak bicara sepertimu, agak susah dilupakan.”
Aku tertawa. Lalu menyentuhkan gelasku ke gelasnya,
“Cheers. Kita minum berdua malam ini. Kamu sendirian kan?”
Wajahnya berubah menjadi muram. Apakah dia memikirkan Rangga, yang kemarin bersamanya?

Keinginanku untuk mencari tahu tentangnya muncul lagi.
“Wajahmu muram. Ada yang kau pikirkan?”
Dia menggeleng lalu menyesap minumannya. Bukan aku kalau aku berhenti menanyainya,
“Kamu memikirkan dia? Rangga?”
Dia terkejut, lalu memandangku dengan tajam,
“Kamu…kenapa kamu bisa tahu Rangga? Kamu kenal dia?”
“Kemarin sore aku ketemu dia di meet n greet JKT49, dia manajer tur mereka kan? Dan malamnya, aku melihat dia di bar ini, bersama kamu”, aku menjawabnya dengan jujur.
“Kalian…pacaran?”, tanyaku lagi.
Dia tidak menjawab pertanyaanku, hanya terus memandangi gelasnya. Aku masih penasaran dengan hubungan mereka,
“Atau…dia adalah salah satu klienmu, Dhika? Oh bukan, Alex?”
Gelasnya terguling dan menumpahkan isinya.

Aku segera memanggil bartender untuk minta tolong mengganti minumnya dan meminta lap meja. Aku mengelap bagian meja yang basah, karena dia terdiam kaku di kursinya, hanya menatap dengan pandangan kosong ke arah meja. Bartender menaruh minuman yang baru di meja,
“Ini…minumlah dulu. Setelah itu kau harus menjawab pertanyaan yang tadi”, aku menyodorkan gelas ke arahnya. Dia meminumnya dalam sekali tenggak, lalu mulai berkata,
“Rangga bukan klienku, dia juga bukan kekasihku, tapi aku sangat mencintai dia. Sekarang jawab pertanyaanku, darimana kau tahu nama bisnisku? Kau mengenaliku sebagai Alex sejak di kereta?”

Ada sedikit rasa lega mengetahui Rangga bukan kliennya dan bukan pula kekasihnya. Kalau dia sangat mencintainya, itu artinya dia bertepuk sebelah tangan kan? Masih bisa berubah kalau Rangga tidak mencintainya. Tapi kalau Rangga tidak mencintainya, kenapa Rangga menghabiskan waktu bersamanya? Aku larut dalam pikiranku sendiri, tiba-tiba dia menyentuh tanganku,
“Kau belum menjawab pertanyaanku.”
“Oh…eh…aku benar-benar baru mengenalmu kemarin di kereta. Setelah melihatmu lagi di sini bersama Rangga, aku penasaran dan mencari info tentangmu”, aku menjawab sambil memandangnya lekat-lekat.
Aku meneruskan perkataanku, “Info kau sebagai Alex, baru aku dapatkan Minggu dinihari lewat Eric, bartender Queer. Kau pasti kenal dia.”
Dia terkejut mendengar aku menyebut nama Eric,
“Eric’s Queer? Kau sering ke sana?”
Aku mengangguk.
“Apa kita ada di dalam lingkaran yang sama?”, tanyanya.
“Maksudmu aku gay?”
Dia mengangguk dan aku menjawabnya,
“Ya. Aku gay.”

Setelah itu kami sama-sama diam untuk waktu yang cukup lama. Dia kembali memesan minuman. Lalu aku memutuskan untuk bertanya lagi,
“Kau mencintai Rangga? Apa dia juga mencintaimu? Apa dia tahu kalau kau berbisnis kencan bayaran sebagai Alex?”
Dia tertawa, lalu menenggak minumannya,
“Seperti biasa ya, pertanyaanmu banyak. Well, aku memang mencintai dia tapi bertepuk sebelah tangan. Dia tidak mencintaiku, dia sudah punya kekasih. Perempuan. Dia…sering minta untuk bertemu secara mendadak. Kalau aku sedang tidak ada klien, aku langsung menemuinya. Seperti kemarin.”
Dia menunduk, lalu meneruskan,
“Dia tidak tahu bisnisku sebagai Alex. Dia hanya mengenalku sebagai Andhika, teman masa kecilnya.”

Aku terdiam mendengar penjelasannya. Tiba-tiba aku ingin memilikinya, ingin mencintainya. Rangga tidak pantas memilikinya, meskipun mereka adalah teman masa kecil. Dia tidak akan membalas cintanya sampai kapanpun. Dia lebih memilih perempuan. Aku menarik napas panjang, lalu berkata,
“Kencanlah denganku, bukan sebagai Alex, tapi sebagai Andhika.”
Dia menjawabku dengan tegas,
“Aku menolak.”
“Kenapa?”
“Aku kan, sudah bilang kalau aku mencintai Rangga.”
“Dia tidak mencintaimu. Mungkin tidak akan bisa mencintaimu. Dia memilih perempuan sebagai pasangannya kan? Sementara aku, akan mencintaimu.”
“Aku tetap menolak.”
“Kalau begitu, akan kukatakan kepada Rangga tentangmu sebagai Alex, dan bisnismu.”
“Kau mengancamku?”
“Aku serius.”
Dia diam. Lalu tiba-tiba,
“Di mana kamarmu?”

Aku membuka pintu kamarku, dan menyilakan Andhika untuk masuk. Kukunci pintu kamar, lalu kuletakkan tas kameraku di meja. Aku baru mau menuju ke toilet ketika dia tiba-tiba mendorongku dan memaksaku untuk berbaring di tempat tidurku. Aku tertawa,
“Langsung berbisnis, huh? Biarkan aku ke toilet dulu, aku sudah menahan pipis sedari tadi.”
“Screw you!”, umpatnya.
Aku pun terbahak dan menuju toilet untuk buang air kecil.

Ketika aku membuka pintu toilet, dia sudah menunggu di luar,
“Beneran pipis? Kupikir kau sudah nggak tahan dan mengeluarkannya di toilet.”
Di luar dugaan, lidahnya tajam juga. Demikian juga dengan tangannya, yang bergerak cepat menarik kerah bajuku, mendekatkan wajahku ke wajahnya, dan dia berbisik,
“Let’s start our business. The sooner the better.”
Aku terkekeh,
“Can i kiss you? Atau ciuman tidak termasuk dalam bisnis?”
Dia tersenyum sinis, mencium bibirku sambil mendorong tubuhku sekali lagi ke tempat tidur.
“Ada charge tambahan untuk ciuman lho. Kuhitung per ciuman.”
Aku tertawa terbahak mendengarnya,
“Bisnis denganmu pasti mahal.”
“Just shut up!”
Dan dia pun mulai beraksi.

Sesuai yang dikatakan Eric, servisnya memang jempolan. Aku mengakuinya. Dari semua teman kencanku, blowjob yang dilakukannya luar biasa. Dan malam ini yang terbaik adalah dia yang mengendalikan semua permainan. He’s riding me. Syit. Aku tidak tahu lagi, sudah berapa kali aku ejakulasi. Sampai-sampai aku merasa aku tidak akan bisa masturbasi untuk beberapa hari ke depan, karena sudah dihabiskan malam ini. Setelah beberapa kali menaikiku, dia akhirnya terbaring di dadaku. Aku memeluknya, dan kami pun tertidur.

***

Senin pagi. Aku terbangun karena merasakan dia tidak lagi ada di pelukanku. Samar-samar aku melihat seseorang sedang berpakaian, dan ketika mataku sudah terbuka sepenuhnya, dia sudah siap untuk pergi.
“Kau mau ke mana?”
“Tentu saja pulang. Pesawatku jam 10. Aku harus ke hotelku mengambil barang-barang dulu.”
“Bisakah kita bertemu lagi? Antara Raditya dan Andhika? Bukan dengan Alex.”
Dia tersenyum,
“Aku tidak ingin berbisnis denganmu lagi”, lalu dia mencium kedua pipiku,
“Selamat tinggal, Raditya.”
Dia pun keluar dari kamarku, meninggalkanku di tempat tidur, sendirian. Tiba-tiba aku teringat lagu Cinta Satu Malam,

Cinta satu malam, oh indahnya…
Cinta satu malam, buatku melayang…

Aku tersenyum, benar-benar cinta satu malam ini namanya. Entah kapan aku bisa bertemu lagi dengannya. Atau nanti di Jakarta aku harus minta belas kasihan Eric lagi untuk mendapatkan nomor kontaknya. Aku bangun dari tempat tidur, menuju kamar mandi, dan mengguyur kepala dan badanku. Selesai mandi, aku mulai membereskan bawaanku dan bersiap untuk check-out dari hotel. Aku berjalan ke meja untuk mengambil tas kameraku. Tiba-tiba pandanganku tertumbuk pada sehelai kertas berlogo hotel yang terletak di bawah asbak. Di sana tertulis,

Andhika
0855-0126-1986

Holy shit! Sepertinya cintaku tidak akan menjadi cinta satu malam.

-selesai-

Have a nice day!

Natsu